JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK, Karyoto ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku.
Karena itu, ICW mendesak agar Dewas KPK segera menggelar sidang dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Firli Bahuri dan Karyoto tersebut.
Divisi Hukum ICW, Kurnia Ramadhana, dalam rilisnya di Jakarta, Selasa (27/10/2020), mengatakan, latar belakang pelaporan ini berkaitan dengan kasus OTT UNJ beberapa waktu lalu.
Berdasarkan petikan putusan Apz (Plt Direktur Pengaduan Masyarakat KPK), diduga terdapat beberapa pelanggaran serius yang dilakukan keduanya.
ICW mencatat setidaknya terdapat empat dugaan pelanggaran kode etik. Pertama, Ketua KPK bersikukuh mengambil alih penanganan yang saat itu dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Padahal Plt Direktur Pengaduan Masyarakat KPK sudah menjelaskan bahwa setelah Tim Pengaduan Masyarakat melakukan pendampingan, ternyata tidak ditemukan adanya unsur penyelenggara negara,” ujarnya.
Oleh sebab itu, berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK, maka tidak memungkinkan bagi lembaga antirasuah untuk menindaklanjuti kejadian tersebut.
Kedua, Firli Bahuri menyebutkan bahwa dalam pendampingan yang dilakukan oleh Tim Pengaduan Masyarakat terhadap Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah ditemukan tindak pidananya.
Padahal ia diduga tidak mengetahui kejadian sebenarnya. Sehingga menjadi janggal jika Ketua KPK menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi dan dapat ditangani oleh lembaga yang kini dipimpinnya.
Ketiga, tindakan Firli Bahuri dan Karyoto saat menerbitkan surat perintah penyelidikan dan pelimpahan perkara ke kepolisian, diduga tidak didahului dengan mekanisme gelar perkara di internal KPK.
“Dalam aturan internal KPK telah diatur bahwa untuk dapat melakukan dua hal tersebut, mesti didahului dengan gelar perkara yang diikuti oleh stakeholder kedeputian penindakan serta para Pimpinan KPK,” ujar dia.
Keempat, tindakan Firli Bahuri untuk mengambil alih penanganan yang dilakukan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diduga atas inisiatif pribadi, tanpa melibatkan atau pun mendengar masukan dari Pimpinan KPK lainnya.
“Pasal 21 UU KPK menyebutkan bahwa Pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial,” katanya.
Dari keempat dugaan pelanggan tersebut, ICW menduga tindakan keduanya telah melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (1) huruf c, Pasal 5 ayat (2) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Mendesak Dewan Pengawas memanggil dan meminta keterangan dari keduanya. Serta saksi-saksi lainnya yang dianggap relevan dengan pelaporan,” tulis Kurnia.
ICW juga mengingatkan kembali dua pelanggaran etik yang telah terbukti dilakukan Firli Bahuri. Dimana pada 2018 silam, ketika menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, Firli Bahuri diketahui bertemu dengan Tuan Guru Bajang.
Pelanggaran etik yang terkini adalah, Firli Bahuri terbukti menggunakan moda transportasi mewah berupa helikopter pada sekitar bulan Juni 2020.
“Untuk itu, Dewan Pengawas semestinya dapat menjatuhkan sanksi lebih berat, berupa pemberhentian dengan tidak hormat terhadap yang bersangkutan,” kata dia.