GARDANASIONAL, JAKARTA – Presiden Prancis, Emmanuel Macron mengkritik operasi yang dilancarkan militer Turki di Suriah, untuk menghalau gempuran pasukan Kurdi setelah beberapa waktu lalu mencapai kesepakatan gencatan senjata, Sabtu (30/11/2019).
Karena tak menerima kritikan itu, Pemerintah Turki malah balik menuduh Emmanuel Marcon. Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu, mengatakan Marcon sebagai sponsor organisasi terorisme di Suriah
“Dia (Macron) mensponsori organisasi teroris, dia menerimanya secara teratur di Elysee (istana kepresidenan),” ujarnya seperti dikutip Anadolu Agency.
Turki menuduh Prancis berusaha mendirikan negara Kurdi di Suriah. Bahkan kritikan Macron dianggap dapat melemahkan perjuangan melawan ISIS, sebab pasukan Kurdi merupakan ujung tombak.
Sejak beberapa waktu lalu, militer Turki menyerang pasukan Kurdi. Sebab, kelompok Kurdi dianggap sebagai separatis dan teroris, karena berkeinginan membuat pemerintahan dan negara sendiri di wilayah timur dan selatan dekat perbatasan Suriah dan Irak.
Sebelumnya, pasukan milisi YPG Kurdi masih belum menarik penuh angotanya dari bagian Suriah timur laut seperti permintaan Turki.
Dari perjanjian beberapa pekan lalu antara Presiden Turki dan Rusia, polisi militer Rusia dan pasukan penjaga perbatasan Suriah bakal memindahkan semua pasukan milisi YPG serta senjatanya sejauh sekitar 30 kilometer dari perbatasan Suriah utara dan Turki selatan. Dengan tenggat waktu Selasa, 29 Oktober 2019 waktu setempat.
Karena tak diindahkan, pasukan Rusia dan Turki mulai melakukan patroli di wilayah perbatasan sekitar sepuluh kilometer dari perbatasan Suriah.
“Sepertinya pasukan organisasi teror YPG masih ada di area Operation Peace Spring,” tulis Reuters.
Rupanya, Turki melakukan operasi militer hingga 30 kilometer dari perbatasan Suriah, dengan maksud mengusir pasukan milisi YPG. “Perang melawan teroris ini belum usai. Kami tahu ini belum akan berakhir,”.
Ada ribuan milisi YPG Kurdi di perbatasan Kota Manbij dan sekitar seribu lainnya di dekat Kota Tel Rifat. Karena itu, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menyebut pihaknya bakal membersihkan area itu dari pasukan YPG jika militer Rusia gagal melaksanakan isi kesepakatna Sochi.
Diketahui, Turki mulai menggelar operasi militer terhadap YPG pada 9 Oktober 2019. Hal itu pasca Presiden AS, Donald Trump, menarik sekitar seribu pasukannya.