JAKARTA – Ideologi radikal terorisme tak tampak oleh mata, namun dapat dirasakan. Karena itu, paham tersebut sangat berbahaya seperti virus yang potensial pada setiap individu manusia.
Hal itu dikatakan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI, Brigjen Pol R. Ahmad Nurwakhid, saat menjadi narasumber pada Seminar Membangun Harmonisasi Nilai-Nilai Berbangsa dan Bernegara pada Generasi Milenial yang diseleggaarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISI) Universitas Nasional (Unas), di Jakarta, Selasa (25/1).
Ia menjelaskan, terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apapun, karena tidak ada satu agamapun yang membenarkan tindakannya. Akan tetapi, hal tersebut berkaitan dengan pemahaman dan cara beragama seseorang yang salah dan menyimpang.
Oleh sebab itu, untuk mencegah virus radikal terorisme yakni dengan melakukan rehabilitasi ideologis. Dimana Pancasila merupakan vaksin ideologi terbaik dalam melakukan moderasi kebangsaan dan keagamaan.
“Setelah mereka merasakan sudah tersusupi paham itu, baru kita berikan vaksinasi pembangunan wawasan keagamaan dan wawasan kebangsaan sebagai vaksin ideologi,” katanya.
Terorisme merupakan kejahatan kemanusiaan yang memiliki dimensi yang cukup kompleks. Karena itu, upaya penanggulangan terorisme harus dilakukan oleh seluruh komponen bangsa melalui pendekatan perlawanan semesta.
BNPT sebagai lembaga non kementerian, lanjut dia, mempunyai tugas merumuskan kebijakan, mengimplementasikan, dan mengkoordinasikan penanggulangan radikalisme dan terorisme dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait.
“Ini (tidak lepas) peran seluruh elemen masyarakat dengan program dan strategi pentahelix (pelibatan seluruh elemen) dari Kepala BNPT RI (Komjen Pol Boy Rafli Amar),” katanya.
Ia menambahkan, mahasiswa potensial terpapar paham radikal terorisme, terutama generasi milenial dan generasi Z, karena masih tumbuh dan berkembang, nilai-nilai wawasan kebangsaannya masih proses pematangan. Bahkan masih senang dengan hal-hal baru dan tantangan baru.
“Bayangkan kalau mereka selalu rutin mendengar dan melihat konten-konten di dunia maya tentang pemahaman radikal, itu akan tertanam dari pikiran dan alam bawah sadarnya,” ujarnya.
Karena itu, dengan pendekatan pentahelix maka diarahkan untuk melibatkan seluruh kementerian, lembaga, akademisi, pengusaha, dan civil society.
Ia mengajak generasi muda dari kalangan akademisi sebagai agen perubahan untuk ikut terlibat secara militan dan aktif menyebarkan konten positif, toleransi dan cinta tanah air, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
“Saya yakin para mahasiswa berpotensial untuk mengembangkan wawasan nasionalisme, karena yang kita hadapi ideologi radikalisme, ideologi transnasional,” ujar dia.