JAKARTA – Permintaan penambahan anggaran sebesar Rp432 miliar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tahun 2023 yang mendapat dukungan oleh Komisi IIII DPR RI berpotensi menjadi politik balas jasa.
Demikian diungkapkan Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, di Jakarta, Jumat (9/9).
“Akan terjadi semacam politik balas jasa, di mana KPK dipastikan akan sangat sulit menyasar dugaan korupsi anggota-anggota DPR ke depannya,” ujarnya.
Posisi DPR kurang kritis, bahkan cenderung menerima permintaan kenaikan anggaran tersebut tanpa tedeng aling-aling.
Baca Lagi: Islah Bahrawi: Konflik dan Radikalisme, Dua Sisi Mata Uang yang Sulit Dipisahkan
Relasi kepentingan antara DPR dan KPK begitu kuat, sehingga saling menyandera satu sama lain dalam urusan anggaran. Karenanya, hal tersebut sangat berbahaya.
Padahal pada periode-periode KPK sebelumnya, di mana DPR tetap bergeming ketika dimintai kenaikan satu rupiah sekalipun.
“Sekarang kenapa justru melunak, seolah bergandengan tangan dengan begitu mesranya. Jelas aneh dan mengherankan,” katanya.
Menurut Herdiansyah, kinerja lembaga antirasuah pada tahun 2018, jauh lebih efektif meski dengan anggaran yang jauh lebih sedikit.
Di mana pada 2018, KPK melakukan 28 kali operasi tangkap tangan (OTT) yang menjadi rekor terbanyak-nya, hanya dengan modal anggaran Rp854,2 miliar.
Sementara di tahun 2022, dengan anggaran Rp1,3 triliun baru melakukan lima kali OTT pada semester pertama.
“Oleh karenanya, permintaan kenaikan anggaran tersebut, sulit diterima nalar publik,” ujar dia.
Sekadar diketahui, KPK mengajukan penambahan anggaran untuk 2023 ke Komisi III DPR RI sebesar Rp432,07 miliar pada Rabu (7/9).
Anggaran tersebut rencananya dialokasikan untuk keperluan belanja pegawai sebesar Rp290,07 miliar dan belanja modal berupa peralatan teknologi informasi sebesar Rp142 miliar.