Esensi Silaturahmi, Menjaga Kerukunan Kebangsaan

Nasional4 Dilihat

SURAKARTA – Tepatlah jika dikatakan Bulan Syawal bagi masyarakat nusantara dianggap sebagai bulan silaturahmi. Tradisi mudik ke kampung halaman, halal bi halal, saling memaafkan dan berkumpul bersama menjadi tradisi unik dalam memaknai hari kemenangan sepanjang bulan tersebut.

Tradisi dan kearifan lokal seperti ini dalam memaknai ajaran agama menjadi penting untuk mengikat persaudaraan dan solidaritas di tengah keragaman bangsa. Apalagi silaturahmi memiliki andil besar dalam mendukung kerukunan dan penerimaan terhadap keragaman, bahkan menjadikannya modalitas mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

Demikian diungkapkan Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Muayyad Windan, Sukoharjo, KH Mohammad Dian Nafi, di Surakarta, Sabtu (14/5).

Ia menjelaskan, bangsa Indonesia terdiri atas 1.340 suku. Kesuksesan atas kemerdekaan karena bisa menyingkirkan sikap-sikap negatif, seperti kebencian dan intoleransi sejak awal.

“Bangsa Indonesia diuntungkan oleh kebiasaannya untuk mendewasakan diri dengan berbagai perjumpaan,” ujarnya di Surakarta, Sabtu (14/5).

Meski berbagai kekuatan asing masuk silih berganti ke dalam masyarakat suku Indonesia. Namun kerjasama antarsuku selalu menambahkan kekuatan suku-suku untuk mempertahankan kepribadian yang mereka miliki.

Baca Lagi: Silaturahmi, Urai Kebencian dan Intoleransi

“Ada kekuatan yang terus berkembang, yaitu kesadaran sebagai sebuah himpunan besar yang lebih kuat, yaitu Bangsa Indonesia yang terjalin melalui silaturahmi,” kata dia.

“Mewujudkan rasa memperkuat dan mempererat persaudaraan kebangsaan adalah melalui pengamalan agama, pendidikan, kegiatan hidup penduduk sehari-hari, dan kekuatan mengurus ihwal penegakan norma di antara mereka,” lanjut Dian Nafi.

Menurutnya, dalam ajaran agama selalu memuat segi-segi yang memperkuat kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kerjasama, kepedulian, dan perdamaian.

Tidak hanya itu, pengamalan Pancasila sebagai pandangan hidup juga mencegah masyarakat kehilangan kekuatan sebagai sebuah bangsa serta dari kehilangan rahmat Ilahi.

“Dengan itu masyarakat Indonesia menguatkan imunitasnya dari gagasan-gagasan yang merusak kemanusiaan dan persatuan,” ujarnya.

Mudik Memiliki Fungsi Psikososial

Ia menilai bahwa tradisi mudik yang identik dengan momen lebaran, memiliki fungsi psikososial untuk memulihkan kesegaran mental guna memperbaiki penghidupan.

“Silaturahmi sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Saling menyapa dan berkunjung. Mudik bermanfaat menapak kembali sejarah para pendahulu, meneguhkan kearifan tempat kelahiran, membangun kohesi sosial, pemerataan pendapatan keluarga dan pemantauan publik atas hasil-hasil pembangunan,” kata dia.

Tidak hanya itu, ada fenomena generasi muda yang kini terkesan enggan melestarikan dan bahkan cenderung melupakan tradisi silaturahim yang sudah mengakar di masyarakat sejak dahulu kala.

Hal itu menjadi tantangan di kalangan orang tua dan pendidik untuk memperhatikan segi-segi relevansi di dalam muatan pendidikan dan pengasuhan bagi anak-anak.

“Generasi muda terkadang asyik dengan habitus dan gawai yang ada pada diri mereka,” katanya.
 
Keengganan generasi muda bersilaturahmi, bukanlah merupakan gejala esensial dalam kehidupan bermasyarakat, melainkan suatu trend yang terbatas waktu.

Dirinya bahkan memandang di kalangan sebagian generasi muda, bersilaturahmi merupakan kegembiraan kreatif yang bisa mereka abadikan di dalam vlog dan rekaman fotografis dan videografis. 

“Itu muncul sebagai realitas dan dinamika. sebagai konsekuensi logis atas penguasaan ilmu pengetahuan dan wawasan baru oleh kalangan generasi muda,” ujar dia.

Empat Harmoni Bekal Generasi Muda

Ia mengatakan, setidaknya ada empat harmoni yang perlu dijadikan pembekalan terhadap generasi muda termasuk sejarah perjuangan bangsa di masa lalu.        

Pertama, harmoni alamiah, yaitu generasi muda berhak dan butuh mengeksplorasi lingkungan alamiahnya, guna menanamkan kecintaan kepada bumi pertiwi dan wawasan kedaulatan teritorial Indonesia.

Kedua, harmoni sosial, yang memuat di dalamnya ihwal kerukuan di antara sesama warga bangsa yang merupakan modalitas hidup dinamis, menggerakkan rumah tangga alam (ekologi) Indonesia, dan rumah tangga manusia (ekonomi).

Ketiga, harmoni psikologis selalu dibutuhkan di tengah-tengah situasi disruptif. Dimana banyak kemajuan ilmu pengetahuan mendesakkan aneka perubahan yang silih berganti dan efeknya adalah tarikan yang semakin kuat kepada warga bangsa untuk selalu berpikir kreatif dan inovatif.

Keempat, harmoni spiritual yang menjadi pangkal keberadaan manusia di muka bumi, perlunya masyarakat bangsa ini memupuk kesadaran terus menerus sebagaimana para pendiri bangsa ini percaya bahwa atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa maka masyarakat bangsa dianugerahi kebaikan sebagai bangsa yang merdeka.

Tidak hanya itu, perlu adanya peran tokoh agama dan tokoh masyarakat, sebagai ujung tombak masyarakat dan role model kehidupan umat, guna memperkuat persaudaraan kebangsaan melalui tali silaturahmi dan menjadikan bulan Syawal sebagai titik pijak baru dalam membangun ukhuwah.

Disamping itu, komunikasi lintas golongan juga dipandang perlu, guna mendewasakan masyarakat majemuk Indonesia, mengokohkan kembali cita kerukunan kebangsaan atau ukhuwwah wathaniyah.

“Tujuan dari semua keteladanan itu adalah terbangunnya solidaritas di kalangan masyarakat,” katanya.
 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar