BANDUNG- Fenomena hijrah milenial tidak hanya patut didukung, tetapi juga patut didampingi. Bukan mereka yang punya kepentingan memanfaatkan gerakan ini tanpa mempertimbangkan aspek esensialnya.
Hijrah milenial harus menjadi gerakan anak muda yang ingin memperbaiki dirinya secara keagamaan, sosial, dan kebangsaan.
Guru Besar Ilmu Tafsir Al-Quran dari Universita Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Prof Jajang A. Rohmana, menilai sejatinya hijrah bagi generasi muda diharapkan mampu diarahkan untuk memperkokoh nilai-nilai kebangsaan, mempererat rasa persatuan, dan kesatuan di kalangan generasi muda.
“Hijrah generasi muda itu perlu diarahkan kepada hal-hal lebih positif, bukan dengan makna yang bersifat politis dan inkonstitusional,” ujarnya di Bandung, Sabtu (20/5/2023).\
Untuk itu, kata Jajang, setidaknya ada dua hal yang perlu dibedakan guna mengajak generasi muda untuk hijrah memperkuat kecintaan kepada negara.
Pertama dari sisi pemikiran, melalui upaya penanaman kesadaran bagi generasi muda bahwa nilai-nilai keislaman dan kebangsaan itu sesuatu yang tidak kontradiktif.
Kedua, pewacanaan saja tidak cukup, tetapi harus dengan aksi yakni beragam cara. Misalnya media sisal dalam bentuk video.
Kemudian flyer, update update status, info-info yang berkaitan dengan kesadaran akan nilai-nilai kebangsaan.
“Juga kesadaran akan upaya untuk membela nilai-nilai nasionalisme melalui aksi-aksi nyata di lapangan serta pelibatan anak muda,” kata dia.
Di era kontemporer saat ini, peran ulama maupun dai sangat penting di dunia digital. Tidak lagi hanya pada media-media tradisional, misalnya pengajian atau ruang-ruang mimbar keagamaan.
“Yang akan menyentuh langsung generasi muda secara cepat dan efektif adalah, ketika para dai terlibat menggunakan media sosial, gadget, dan media digital lainnya,” katanya.
Selain itu, lanjut Jajang, para dai maupun pemuka agama berperan sebagai agen sosial, diyakini mampu mempengaruhi pemahaman masyarakat.
Sehingga konten, isi, pesan yang disampaikan baik di darat maupun di dunia maya penting untuk diisi dengan pesan-pesan yang mengajarkan nilai-nilai kebangsaan, persatuan dan kesatuan.
“Budaya yang ada masyarakat kita sejak jaman nenek moyang itu dibentuk dalam situasi bagaimana menghormati terhadap perbedaan, dibentuk oleh beragam etnik, bahasa, budaya maupun agama yang datang silih berganti,” ujarnya.
“Ini yang membuat nenek moyang kita memahami, menyadari pentingnya mempertahankan , pentingnya menghormati perbedaan-perbedaan itu,” tambahnya.
Bukan tanpa dasar, Jajang meyakini bahwa pemahaman moderat jauh lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia yang majemuk.
Bahkan konten dakwah yang mengajarkan toleransi, kedamaian dan tidak segregatif sangat relevan dengan karakter anak bangsa.
Hal ini menurutnya, tampak dalam hal penggunaan kopiah, penggunaan bahasa, penerjemahan kitab suci, bahasa-bahasa dalam dalam berdoa.
Kemudian ada banyak hal lain yang membuat Islam itu menjadi lebih meng-Indonesia. Itu karena ada keselarasan antara nilai agama dan budaya bangsa Indonesia.
Untuk itu ia berharap, sejatinya pendakwah memiliki peran dan tanggungjawab menyampaikan pesan dakwah berisi kesejukan dan kedamaian, serta tidak provokatif.
“Bagaimanapun pesan yang disampaikan di era digital ini akan disorot dan mudah ditiru oleh masyarakat kita,” kata Jajang mengakhiri