Guru Besar IAIN Palangka Raya: Nabi Muhammad Tak Hanya Memperbaiki Akhlak, Namun juga Menyempurnakan

Nasional809 Dilihat

PALANGKA RAYA – Perayaan Maulid adalah bentuk kecintaan umat Islam terhadap Nabi Muhammad. Diutusnya Rasulullah ke muka bumi menjadi penanda berakhirnya zaman jahiliyah karena ia membawa risalah penuntun umat manusia. Tuntunan utama dari Nabi Muhammad adalah bahwa dirinya diutus adalah untuk memperbaiki akhlak para manusia.

Membahas hal ini, Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya, Prof. Khairil Anwar, menjelaskan Rasulullah SAW diutus tidak hanya untuk memperbaiki akhlak, namun juga menyempurnakannya.

“Rasulullah pernah bersabda, aku ini diutus adalah sebagai penyempurna akhlak. Tidak hanya memperbaiki tapi juga menyempurnakan. Melihat situasi dan kondisi masyarakat kita sekarang, masih bahkan mungkin semakin terdegradasi akhlaknya, khususnya terjadi pada akhlak anak-anak muda kita. Inilah yang saya kira perlunya banyak keteladanan dari generasi sebelumnya,” ujarnya di Palangka Raya, Kamis (28/9/2023).

Dirinya menjelaskan, kalau Nabi Muhammad menyempurnakan akhlak umat manusia adalah dengan menjadi teladan yang baik atau uswatun hasanah. Sejatinya, semua harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anak. Melalui keteladanan, dapat mempengaruhi jiwa anak-anak dan masyarakat hingga 80%, sisanya sebanyak 20% adalah melalui nasihat.

“Jadi nasihat atau ceramah itu tidak akan berarti tanpa adanya keteladanan, baik dari para pemimpin, pejabat, dan orang tua kita. Melalui keteladanan mereka semua itulah yang nanti akan dicontoh dan diikuti oleh masyarakatnya, khususnya generasi muda. Jadi perlunya kita sama-sama menyempurnakan akhlak masyarakat dengan memberikan teladan yang baik,” kata Prof. Khairil.

Selanjutnya yang perlu diingatkan juga adalah bahwa Nabi Muhammad diutus dengan agama yang lurus, ikhlas, dan penuh toleransi. Rasulullah bersabda, “aku diutus dengan agama yang penuh keikhlasan, ketulusan, dan rasa toleransi.”

Apalagi Indonesia ini yang masyarakatnya memiliki perbedaan budaya yang sangat beragam perlu disikapi dengan rasa ikhlas, terutama ikhlas beragama semata-mata karena Allah.

“Jika seseorang bisa memiliki rasa ikhlas ketika beribadah pada Allah, maka ia pun akan bisa ikhlas dengan sesama manusia walaupun berbeda budayanya atau kepercayaannya,” kata Prof Khairil

Menurutnya, umat manusia semuanya harus bisa menjadi pribadi yang toleran terhadap perbedaan, baik berbeda dengan sesama umat Islam, berbeda antar umat beragama, dan termasuk juga antar umat beragama dengan pemerintah.

“Jadi itulah hikmah kita mengadakan Maulid untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain membawa risalah Islam yang rahmatan al-alamin, Rasulullah juga ditugaskan untuk menyempurnakan akhlak manusia, serta mencontohkan rasa ikhlas dan toleransi dalam beribadah kepada Allah serta umat manusia secara keseluruhan,” ujarnya.

Prof. Khairil pun menyinggung soal beberapa kalangan dari umat Islam yang menganggap bahwa perayaan Maulid itu adalah bid’ah. Dirinya menjelaskan bahwa mereka yang berpikiran seperti ini sebenarnya belum mengetahui ajaran Islam secara komprehensif dan mendalam. Sejatinya perayaan Maulid dan Isra Mi’raj itu bukanlah bid’ah karena tidak ada prinsip beragama yang kita langgar.

“Yang namanya bid’ah itu kalau salat dua rakaat pada waktu subuh, lalu dijadikan empat rakaat atau tiga rakaat, jadi masalah-masalah yang menyangkut ibadah mahdoh. Kalau ibadahnya yang ghoiru mahdoh, seperti muamalah dan yang sejenisnya, maka itu boleh dikreasikan umat Islam dalam mempraktikkan nilai-nilai agama itu ke dalam tradisinya dan masyarakatnya agar ajaran Islam bisa dikenal,” tambah Prof. Khairil.

Ia berpesan, sebagai umat Islam dan umat beragama secara keseluruhan, sejatinya harus memiliki karakter yang toleran terhadap perbedaan. Konsep moderasi beragama bisa dijalankan jika ujmat manusia itu bisa menerima segala perbedaan yang ada.

“Tentu toleransi yang dimaksud disini adalah toleransi yang aktif. Maksudnya, walaupun kita berbeda agama atau suku, tidak hanya kita menghormati, namun juga kita harus bisa bekerja sama sepanjang tidak melanggar prinsip agama atau peraturan pemerintah yang sah,” tegas Prof. Khairil.

Dirinya lalu memberikan perumpamaan dengan perbedaan antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Perbedaan dua kelompok ormas Islam ini bisa disikapi dengan mengatakan ‘lanaa a’maluna wa lakum a’malukum’, yang artinya ‘bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan kalian’. Intinya, silahkan kerjakan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.

“Begitu juga jika terjadi perbedaan dalam pilihan politik, bisa disikapi dengan mengatakan ‘bagi kami partai kami, bagimu partai kamu.’ Banyak perbedaan lain yang juga bisa disikapi dengan cara yang sama. Jadi di suasana yang begitu banyak perbedaan, baik dari sisi politik, praktik ibadah, atau agama, saya kira itu harus bisa disikapi dengan saling menghormati, menghargai, dan bisa bekerja sama,” kata Prof. Khairil mengakhiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *