Hindari Narasi Perpecahan dengan Pandai “Bermain” Media Sosial

Nasional605 Dilihat

BOGOR – Kebiasaan netizen yang sering kali mendahulukan kecepatan menanggapi dan merespons suatu narasi dengan mengesampingkan fakta benar dan salah. Padahal di tengah dunia digital, menggunakan perangkat smartphone, tentunya pemakainya juga harus smart dan cerdas.

Oleh karena itu, pentingnya sikap sabar dan cermat dalam penggunaan media sosial. Masyarakat tidak boleh ketika ada kejadian viral, tangan serasa gatal untuk sekedar menyumbangkan komentar. Di sisi lain, tidak peduli benar atau salah.

Hal itu dikatakan Sekretaris Eksekutif bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Jimmy Sormin, di Bogor, Kamis (13/10/2022).

Penting bagi masyarakat untuk memahami dan menyadari, apakah sebuah informasi tersebut layak untuk dibagikan atau justru harus berhenti untuk dirinya sendiri. Olehnya itu, harus cerdas melakukan klarifikasi atas informasi yang diterima.

“Klarifikasi atau mencari informasi yang sejelas-jelasnya, menjadi kewajiban untuk mengetahui sesuatu secara valid, harus mengetahui sesuatu itu dengan terang, apakah benar apa adanya atau ada apanya,” ujarnya.

“Sebelum mengganggu dan merugikan diri sendiri atau orang lain, kita perlu mengetahui lebih dahulu kebenaran sebuah berita atau kejadian. Ini membutuhkan kesabaran dan kecermatan,” lanjut Jimmy.

Dalam konteks kekristenan, Jimmy mengungkapkan ada penekanan sebagaimana disebutkan dalam ayat atau bagian dalam Alkitab agar tidak terjadi fitnah serta perkataan kebohongan yang justru merusak kehidupan dan kemaslahatan umat serta bangsa.

Ia menilai perlu membangun budaya masyarakat yang cerdas dan sabar dengan mendahulukan klarifikasi atas informasi yang diterima. Caranya dengan menghidupkan budaya literasi digital di kalangan masyarakat.

“Rekam jejak sulit dihapus kalau sudah terlempar di digital. Oleh karenanya, kita perlu membangun budaya digital yang baik di kalangan pemuda atau kalangan pengguna gadget,” ujar Jimmy.

Menurutnya, para pengguna gadget atau media sosial perlu didorong ketika menyampaikan narasi-narasi kepada publik adalah narasi yang sifatnya bukan destruktif. Tapi narsi konstruktif yang bersifat mendidik, membangun, dan memotivasi.

“Jadi optimisme yang dibangun, bukan pesimisme, bukan yang sifatnya destruktif atau memecah belah dan lain sebagainya. Optimisme itu harus dibangun setelah mereka cerdas bermedia sosial dan tahu juga misi apa yang harus dibawa dalam media sosial itu,” katanya.

Selain itu, Jimmy mendorong peran para tokoh baik agama maupun masyarakat untuk turut serta menularkan dan mengarahkan umatnya dengan budaya optimisme, cerdas dalam bermedia sosial dan mencintai kehidupan bersama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar