Implementasi Deradikalisasi, Kepala BNPT: Perlu Kerjasama Semua Stakeholder

Nasional6 Dilihat

JAKARTA – Deradikalisasi merupakan roh atau inti kegiatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), karena hal ini langsung menyasar ke akar masalah terjadinya aksi terorisme. Oleh karena itu, BNPT perlu meningkatkan kerjasama dengan semua stakeholder dalam implementasi program deradikalisasi.

Hal tersebut disampaikan Kepala BNPT, Komjen Pol Boy Rafli Amar, saat Rapat Koordinasi Program Deradikalisasi Bagi Aparat Penegak Hukum dalam Tim Asistensi Khusus / Kelompok Kerja (Pokja) Deradikalisasi BNPT Terpadu, yang diselenggarakan Subdit Bina Dalam Lapas BNPT.

Dilansir BNPT di Jakarta, Jumat (7/8/2020), Boy menjelaskan, deradikalisasi sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing Kementerian/Lembaga, seperti Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) dengan fungsi pembinaannya, Kejaksaan fungsinya penuntutan, Densus 88 Anti-teror fungsinya dalam konteks penyelidikan dan penyidikan.

“Jajaran hakim sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan persidangan,” ujarnya.

Berdasarkan evaluasi di tahun sebelumnya, karena terorisme merupakan kejahatan extraordinary, program deradikalisasi akan berhasil apabila para narasumber dapat membangun komunikasi dua arah dengan objek deradikalisasi.

“Ini diawali dengan membangun chemistry, hingga pembimbingan yang berkesinambungan. Sehingga dapat merubah hati dan pikiran objek deradikalisasi,” kata dia.

Ia mengatakan, pembentukan Tim Asistensi Khusus / Pokja yang terdiri dari aparat penegak hukum, merupakan salah satu langkah BNPT dalam menjalankan amanat Undang-Undang No 5 Tahun 2018.

Dimana disebutkan, bahwa BNPT merupakan lembaga yang bertugas melakukan koordinasi dengan lembaga pemerintah/daerah dalam berbagai program penanggulangan terorisme, termasuk program deradikalisasi.

“Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan pula bahwa proses deradikalisasi sudah harus dilaksanakan sejak seseorang dinyatakan sebagai tersangka, terdakwa, terpidana, dan juga sebagai narapidana dalam pelaksanaan restitusi hukuman sebagai warga binaan di dalam Lembaga Pemasayarakatan,” ujar Boy.

Oleh sebab itu, pihaknya membuka kemungkinan adanya jabatan fungsional bagi aparat penegak hukum, pegawai Dirjen Pemasyarakatan, dan hingga narasumber/pembina dari Kementerian Agama yang terlibat dalam Tim Asistensi Khusus/Pokja Deradikalisasi BNPT Terpadu ini.

“Ini agar secara khusus bisa melakukan pendalaman kepatuhan ilmu dan keterampilan dalam melakukan deradikalisasi,” katanya.

Namun demikian, hal tersebut tentu akan diikuti adanya sertifikasi khusus keahlian dalam melakukan deradikalisasi, dengan pendekatannya salah satu disiplin ilmu, seperti wawasan keagamaan, wawasan kebangsaan, psikologi, dan disiplin ilmu lainnya.

“Harapannya program ini dapat berkesinambungan dan narasumber yang menjadi mitra dalam program ini dapat ikut mencermati perkembangan watak karakter objek deradikalisasi,” katanya.

Boy juga berharap, agar program yang dijalankan dalam bentuk Tim Asistensi Khusus/Pokja ini dapat segera dituangkan dalam blueprint deradikalisasi.

“Ini agar program deradikalisasi ini tidak lagi bersandar pada orang-orang tertentu dan tidak lagi terlaksana secara parsial,” ujar dia.

Sementara Direktur Jenderal (Dirjen) PAS, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), Irjen Pol Reinhard Silitonga, mengatakan pihaknya selalu siap mendukung dan menjalin kerjasama yang dilakukan BNPT dalam menjalankan program deradikalisasi bagi para narapidana kasus terorisme yang ada dalam Rumah Tahanan ( Rutan) ataupun Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia.

“Tentunya kami akan sangat antusias dengan pelatihan-pelatihan yang diprogramkan oleh BNPT dalam menjalankan program deradikalsasi, yang mana hal ini untuk semakin mempertajam kemampuan petugas-petugas Lapas.” ujarnya.

Ia menegaskan, tugas dari Pemasyarakatan, sesuai Undang-Undang Pemasyarakatan ((UU PAS) adalah memberikan jaminan perlindungan terhadap hak tahanan, meningkatkan kualitas kepribadian, dan melakukan pembinaan, agar warga binaan tidak mengulangi tindak pindana dan dapat kembali ke masyarakat.

“Juga dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sekaligus berperan bagi bangsa dan negara,” ujar dia.

Ia menambahkan, seluruh Lapas di Indonesia dibagi menjadi empat kategori, dengan penanganan warga binaan yang berbeda-beda, yaitu super-maximum security, maximum security, medium security, hingga minimum security.

“Tentunya ukuran keberhasilan yang diinginkan sebagai pembina di level super-maximum security, yaitu merubah konsep perilaku dari warga binaan, sehingga memiliki kepribadian yang lebih baik. Sedangkan, warga binaan pada level maximum security, akan dibina dengan membentuk kedisiplinan,” ujarnya.

Sedangkan untuk Lapas dengan level medium dan minimum security, akan membina warga binaannya dengan memberikan pendidikan, kesempatan ikut pembelajaran, hingga kesempatan usaha dan produksi.

Dari empat kategori tersebut dapat disimpulkan bahwa Ditjen PAS sebagai pembina kemasyarakatan tidak hanya memenjarakan atau /memasukkan narapidana sebagai warga binaan saja, tetapi juga memberikan pembekalan.

“Hal ini lah yang kami perlu tingkatkan kemampuannya, dalam memberikan pembekalan khusus terpidana kasus terorisme. Karena, narapidana kasus terorisme ini memang perlu pendekatan yang berbeda, dibandingkan narapidana kasus-kasus yang lainnya,” kata dia.

Diketahui, Tim Asistensi Khusus / Pokja Deradikalisasi ini merupakan program deradikalisasi BNPT yang mengikutsertakan aparat penegak hukum dan pakar atau profesional yang mumpuni untuk melakukan pendekatan kepada para napiter.

Beberapa aparat penegak hukum yang tergabung dalam tim tersebut adalah petugas-petugas di Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP), dan Badan Pemasyarakatan (Bapas).  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *