JAKARTA – Istilah islamophobia akhir-akhir ini mulai menyeruak seiring dengan terungkapnya data pesantren terafiliasi jaringan terorisme, saat rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Atas hal itu, Pemerintah pun langsung dihujani tuduhan dengan dianggap Islamophobia atau anti Islam.
Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi, mengatakan merasa perlu meluruskan makna Islamophobia, yang kerap dipakai oknum-oknum tidak bertanggungjawab untuk memojokkan pemerintah dan memecah belah umat.
Menurut dia, Islamophobia merupakan deskripsi sosiologis terhadap gejala bagaimana orang-orang mayoritas barat memandang Islam sebagai ancaman.
“Islamophobia tidak ada di indonesia. Ini kekeliruan representasi.” ujarnya di Jakarta, Jumat (11/2).
Fenomena Islamophobia muncul, sebagai akibat sebagian kecil orang muslim yang menyalahgunakan ajaran keagamaan untuk tindakan kekerasan dan melakukan kebencian, terhadap mereka yang berbeda. Juga untuk melakukan tindakan teror, sehingga tergeneralisir bahwa umat Islam adalah ancaman.
Di Indonesia, penggunaan terminologi Islamophobia, justru bertujuan untuk membela perilaku kekerasan atau kebencian terhadap yang lain, yang dilakukan oleh sebagian kecil umat islam.
“Jadi ini ada fenomena kebalikan,” kata dia.
Oleh karena itu, Mujtaba menyayangkan terhadap fenomena tersebut. Terlebih kelompok radikal memang cenderung melakukan playing victim ketika dikritik atas tindakan mereka yang menyebarkan kebencian atas nama ajaran agama.
“Mereka menggunakan terminologi Islamopobia untuk menjustifikkasi kebencian terhadap orang lain. Ketika di kritik (atas perbuatannya), mereka malah playing victim,” kata dia.
Sejatinya yang menuai kritik tersebut, kata dia, bukanlah Islam sebagai sebuah agama, namun oknum yang mengatasnamakan Islam. Hal inilah yang menurutnya harus dipahami oleh masyarakat.
“Bukan Islamnya, tapi tindakan mereka itulah yang harusnya dikritik,” katanya.
Namun, Mujtaba melihat adanya permainan psikologis yang dimainkan oleh kelompok radikal sebagai upaya untuk menimbulkan perpecahan dan memojokkan pemerintah atas kebijakan yang dibuat.
”Ada permainan psikologis yang mereka mainkan. Pertama, menggunakan terminologi persatuan umat. Kedua, Islamopobia adalah defense mechanism mereka ketika mereka dikritik atas perbuatannya,” ujar dia.
Pola pergerakan kelompok radikal adalah dengan menciptakan ketidakharmonisan di tengah masyarakat. Lalu dilanjutkan dengan meminta pembelaan atas nama kesatuan umat Islam. Puncaknya, adalah dengan menganggap siapapun yang tidak membela dan mengkritik adalah Islamopobia.
”Padahal di Indonesia sendiri tidak ada gejala sosial yang merujuk pada praktik Islamopobia. Muslim sebagai mayoritas justru sangat difasilitasi oleh negara,” ujarnya.
Selama ini, pemerintah dengan segala sumber daya yang ada sangat memfasilitasi baik muslim maupun seluruh penganut agama lain, untuk beribadah sesuai keyakinan dan kepercayaannya masing-masing.
Perlu Strategi Berantas Oknum yang Menyalahartikan Istilah Islamophobia
Menurutnya, perlu startegi yang konkrit dan efektif untuk memberantas oknum-oknum yang kerap menyalahartikan istilah Islamopobia, untuk membuat kericuhan di tengah masyarakat.
“Perlu edukasi publik untuk memperlihatkan sesungguhnya seperti apa gejala yang merujuk pada Islamophobia, agar tidak digunakan diluar konteksnya,” kata dia.
Disamping itu, perlu tindakan serius dari pemerintah bagi mereka yang menyebarkan ajaran kebencian di lokasi peribadatan atas nama agama, mengajarkan untuk membenci yang berbeda, bahkan pada titik tertentu membenci pemerintah yang sah.
Pertama, soft approach yaitu menandingi narasi mereka dengan ajaran yang toleran, moderat, perdamaian sebagai inti dari ajaran islam. Selain itu, perlu ajaran yang mencerminkan perdamaian.
Kedua, hard approach, menurutnya perlu dilakukan ketika seseorang melanggar hukum. Rule Of Law harus dijalankan.
“Apalagi kalau sudah pelanggaran hukum menginfiltrasi kekerasan, memancing orang untuk melakukan kebencian terhadap yang berbeda,” ujar dia.
Terakhir, pihaknya masih konsisten untuk terus mengawal penyebaran Islam yang damai, melalui berbagai lini dalam rangka mewarnai ruang digital dengan narasi dan konten positif untuk meng-counter narasi intoleransi.
“Kita terus konsisten dalam menyebarkan Islam yang damai melalui berbagai lini, mulai dari masuk langsung ke desa, sekolah, hingga ke ranah digital, bekerja sama dengan semua pihak, kita warnai ruang digital kita dengan narasi positif,” katanya.