JAKARTA – Situasi politik sekarang jauh lebih cair dan terbuka, sehingga isu dikotomis seperti radikal, nonradikal, dan semacamnya tak bakal lagi laku pada Pemilu 2024 mendatang.
Demikian dikatakan peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, di Jakarta, Minggu (19/6).
“Itu tidak perlu dan tidak laku lagi dijual pada pilpres 2024,” katanya.
Jika dibandingkan pemilu 2019, lanjut dia, label radikal, nonradikal, dan intoleran cukup kental mewarnai pesta demokrasi.
Baca Lagi: BNPT: Ancaman Kedaulatan Bangsa Tak Pernah Usai
Namun berbeda pada Pilpres 2024, dirinya yakni masyarakat tidak akan berpandangan kelompok tertentu lebih religius, nasionalis, dan lain sebagainya.
Terkait pertemuan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar, Siti memberikan pandangan tersendiri.
Menurut dia, pertemuan kedua tokoh tersebut menunjukkan perlunya sinergi dalam menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
“Pertemuan tersebut menunjukkan politik ini sangat inklusif dan terbuka,” ujarnya.
Dengan kata lain, tidak ada satu pihak yang bisa mengatakan atau mengklaim dirinya digdaya sehingga koalisi beberapa partai politik diharuskan dalam menghadapi pilpres 2024.
Meskipun basis massa Nahdlatul Ulama di Tanah Air tergolong kuat, berdasarkan fatwa PBNU, belum tentu tertuju pada PKB pada Pilpres 2024.
Artinya, tidak tidak ada pihak yang bisa mengatakan seolah-olah hanya orang tertentu yang bisa jadi arsitek atau mendominasi perpolitikan Indonesia.
“Ini sangat bagus, karena Pemilu akan mengedepankan sisi-sisi positif dan itu yang kita harapkan,” katanya.
1 komentar