JAKARTA – Alokasi anggaran modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengalami penurunan tiap tahun. Karena itu, Paramadina Graduate School of Diplomacy menduga, pemerintah saat ini tak serius terkait agenda transformasi pertahanan.
Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy, Shiskha Prabawaningtyas, mengatakan dari catatan pihaknya, proporsi modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) turun drastis, dari Rp18,35 triliun pada 2017 menjadi Rp9,93 triliun ditahun 2018 atau turun sebesar Rp8,24 triliun
“Secara spesifik komitmen modernisasi alutsista kurang kuat. Hal itu ditandai dengan tren alokasi modernisasi yang cenderung menurun,” ujarnya di Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Dari penelitian yang dilakukan ada beberapa yang membuat lemahnya komitmen modernisasi alutsista. Pertama, kepemimpinan sipil memengaruhi pola distribusi anggaran pertahanan. Kedua, dalam menciptakan profesionalisme militer, Jokowi hanya meningkatkan belanja pegawai. Bahkan cara tersebut, diklaim Shiskha bertentangan dengan cara yang dibangun pemerintah sebelumnya.
“Selama ini dibangun pemerintah bahwa sebagian besar anggaran pertahanan dihabiskan untuk belanja alutsista,” kata dia.
Kemudian, poros maritim dunia yang merupakan visi Jokowi-Jusuf Kalla pada periode 2015-2019 tidak tergambarkan dalam distribusi anggaran pertahanan. Bahkan TNI AL belum menjadi angkatan bersenjata yang disegani di kawasan. Begitu juga alokasi belanja alutsista matra laut tak mengalami kenaikan signifikan dari TNI AD dan AU.
“Anggaran modernisasi alutsista matra laut mulai meingkat secara signifikan pada tahun 2017. Namun, masih lebih kecil dari pada matra darat,” ujarnya.
Dari data Kementerian Keuangan, persentase belanja modal menurun dari 28,50 persen dari tahun 2017 menjadi 17,92 persen pada tahun 2018. Sementara berdasarkan matra, TNI AD penerima anggaran pertahanan terbesar.
Karena itu, Shiskha, menduga Jokowi tak memiliki kendali kuat di sektor pertahanan terkait implementasi visi poros maritim dunia. “Presiden Joko Widodo tidak memaksakan implementasi visi poros maritim dunia dalam distribusi alokasi belanja modal,” katanya.
Menurut Shiskha, ketidakdisplinan pengelolaan anggaran dan sejumlah temuan BPK terkait laporan keuangan Kementerian Pertahanan, memperlihatkan lemahnya tata kelola manajemen anggaran pertahanan.
Dimana ada tiga persoalan penyajian laporan keuangan di bidang pertahanan, di antaranya pemanfaatan aset dan barang milik negara tanpa mengikuti prosedur baku; risiko penyalahgunaan anggaran dalam pengadaan barang dan jasa; dan buruknya dokumentasi perjalanan dinas.
Tak hanya itu, Shiskha, juga menyoroti transparansi anggaran Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang tak pernah dibuka kepada masyarakat. “Sekalipun ada situs resmi Kementerian Pertahanan terdapat tautan laporan keuangan dan anggaran, akan tetapi tautan tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya,” kata dia.