JAKARTA – Peraturan Presiden (Perpres) nomor 7 Nomor 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE) menuai polemik di masyarakat. Padahal Perpres tersebut dimaksudkan untuk memperkuat resilience (ketahanan) masyarakat terhadap paham ekstrimisme.
Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi, mengatakan sebetulnya yang menjadi kontroversi di masyarakat adalah karena adanya kata-kata pemolisian masyarakat atau community policing. Padahal kalau bahasanya diganti dengan ronda keliling, tentu tidak akan menjadi masalah yang sebetulnya sama.
”Tetapi kan tidak bisa bahasa seperti ronda keliling itu dimasukkan ke dalam dokumen resmi seperti Perpres. Tapi intinya ini adalah penguatan daya lenting atau resiliensi di masyarakat. Jadi masyarakat punya kemampuan untuk mendeteksi,” ujarnya di Jakarta, Jumat (22/1/2021).
Dengan deteksi dini, masyarakat akan memiliki kemampuan kohesi sosial, sehingga mencegah potensi konflik dari isu yang kerap dieksploitasi oleh kelompok ekstrimis.
”Hal tersebut dapat dicegah jika dideteksi lebih awal, hanya memang bahasa community policing belum terlalu akrab di telinga masyarakat kita. Dan kami mengapresiasi terbitnya Perpres RAN-PE,” kata dia.
Kebijakan itu, lanjut Mujtaba Hamdi, sebagai usaha dari negara untuk melakukan perlindungan terhadap hak rasa aman dari warganya. RAN-PE juga melakukan pendekatan dengan cara pull government dan pull society approach.
“Karena tidak hanya melibatkan banyak Kementerian dan Lembaga (K/L) saja, tetapi juga masyarakat umum, sehingga pendekatannya partisipatif,” katanya.
Apalagi faktor-faktor yang menimbulkan terjadinya ekstrimisme kekerasan cukup kompleks dan multi aspek. Sehingga perlu pendekatan yang komprehensif dan banyak sektor.
”Tentunya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sebagai koordinator penanggulangan terorisme dapat melakukan konsolidasi segera dengan K/L terkait. kemudian juga membuka konsultasi dengan masyarakat sipil untuk membuka ruang diskusi terkait hal ini,” ujar dia.
Oleh karena itu, ia berharap, BNPT secepatnya melakukan sosialisasi kepada K/L dan masyarakat secara intensif terkait RAN-PE. Karena menyangkut makin menajamnya keterbelahan di masyarakat yang dipicu ideologi ekstrimisme kekerasan.
”Kalau kemudian ini dituduh abuse of power dan menciptakan pembelahan di masyarakat, kita harus merespon bahwa ini justru dibuat sebagai upaya untuk tidak mempertajam pembelahan di masyarakat yang diakibatkan oleh ideologi yang ekstrimis,” ujarnya.
Dalam upaya sosialisasi RAN-PE, ia berharap, BNPT dapat menggandeng kelompok sosial keagamaan yang memiliki basis massa yang cukup luas untuk kemudian bersama-sama menyampaikan RAN-PE hadir sebagai upaya pemerintah untuk mencegah paham ekstrimisme kekerasan di masyarakat.
“Jika daya tahan di masyarakat ditangani kepolisian bisa runyam. Karena itu, memang harusnya yang bergerak adalah masyarakatnya. Sementara Pemerintah memfasilitasi bagaimana masyarakat ini memiliki resilience, daya tahan tinggi dan punya kemampuan untuk cegah dini,” katanya.