JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah merilis Pedoman Mekanisme Koordinasi Perlindungan Anak Korban Jaringan Terorisme. Pedoman ini menjadi dasar bagi kolaborasi lintas sektor, melibatkan pemerintah pusat, daerah, lembaga masyarakat, dan organisasi internasional, untuk melindungi dan memulihkan anak-anak yang menjadi korban atau terlibat dalam jaringan terorisme.
Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, menekankan bahwa koordinasi yang kuat antar semua pihak sangat penting. “Pedoman ini bertujuan untuk memaksimalkan peran Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah sesuai dengan PP Nomor 59 Tahun 2019 dan PP Nomor 78 Tahun 2021,” ujarnya, dikutip dari laman kemenpppa.go.id, Minggu (20/10/2024).
Pedoman ini mencakup tiga aspek utama yakni pencegahan, rehabilitasi, dan reintegrasi, serta penanganan peradilan anak.
Baca Juga: BNPT Gelorakan Semangat Kolaboratif dalam Deradikalisasi di Lapas Surabaya
Bintang Puspayoga juga menyatakan bahwa anak-anak adalah aset masa depan bangsa dan berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi.
“Pedoman ini diharapkan menjadi bukti komitmen pemerintah untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak 2030,” katanya.
Data dan Fenomena Anak Terlibat Terorisme
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat antara 2016 hingga 2023, terdapat 29 anak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme.
Data ini menggambarkan betapa seriusnya ancaman terorisme terhadap generasi muda. Anak-anak sering menjadi korban propaganda dari jaringan teroris dan menghadapi trauma yang mendalam.
Sekretaris Utama BNPT, Bangbang Surono, menyoroti dua fenomena pelibatan anak dalam jaringan terorisme yang perlu diperhatikan: keberangkatan anak-anak ke wilayah ISIS di Suriah antara 2014-2018, dan pelibatan anak-anak dalam aksi bom di Surabaya pada 2018.
“Kejadian-kejadian ini harus menjadi pengingat bagi kita semua untuk melindungi anak-anak dari pengaruh teroris,” ujar Bangbang.
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melindungi anak-anak dari propaganda ekstremisme berbasis kekerasan, terutama melalui pemanfaatan teknologi.
Bangbang Surono menekankan pentingnya memperlakukan anak-anak terkait terorisme sebagai korban, bukan pelaku, untuk mencegah stigma dan diskriminasi.
Sejak 2018, langkah progresif telah diambil, termasuk pengesahan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan, yang mengedepankan pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak.