JAKARTA – Kementerian Agama (Kemenag) dikritik setelah munculnya wacana bakal melibatkan TNI dalam urusan beragama warga Negara. Karena itu, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari KontraS, SETARA Institute, Imparsial, ELSAM, ILR, LBH PERS, HRWG, PBHI, ICJR, PILNET Indonesia, dan LBH Masyarakat menilai rencana pelibatan TNI AD untuk mengurus peningkatan kerukunan umat beragama hingga ke pelosok daerah di Indonesia bertentangan dengan prinsip demokrasi, HAM, dan agenda reformasi sektor keamanan serta UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).
Peneliti SETARA Institute, Ikhsan Yosari, mengatakan pelibatan TNI dalam mengurus kerukunan beragama adalah suatu pendekatan yang keliru, sebab berpotensi memunculkan pelanggaran HAM.
“Pendekatan keamanan membuka ruang otoritarianisme karena pemerintah akan lebih mengutamakan stabilitas melalui pendekatan represif dibandingkan dialogis,” ujarnya di Jakarta, Minggu (5/7/2020).
Menurutnya, peningkatan kerukunan umat beragama selama ini lebih efektif dilakukan dengan cara-cara dialogis dibandingkan dengan pendekatan represif.
“Pendekatan represif hanya memunculkan kerukunan semu dan akhirnya menjadi bom waktu konflik sosial yang lebih besar sebagaimana di masa Orde Baru,” kata dia.
Paradigma kerukunan umat beragama yang selama ini dipakai Pemerintah, tidak disertai dengan upaya pemenuhan kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) khususnya terhadap kelompok minoritas agama atau keyakinan, seperti agama leluhur, kelompok aliran yang berbeda di internal keagamaan, serta penghayat kepercayaan.
“Terlihat dalam kebijakan Pemerintah seperti SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah dan penggunaan pasal penodaan agama yang bersifat diskriminatif,” katanya.
Pendekatan yang menitikberatkan pada aspek kerukunan dalam praktiknya, lanjat dia, sangat potensial melanggengkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama atau keyakinan, yang selama ini sudah terjadi atas mereka.
Meski operasi militer selain perang (OMSP) dalam rangka tugas perbantuan dimungkinkan, tetapi pelaksanaanya diatur secara ketat oleh Pasal 7 Ayat 2 UU TNI. Oleh sebab itu, mengurus peningkatan kerukunan umat beragama tidak termasuk dalam tugas OMSP sebagaimana diatur UU TNI.
Apalagi, kata Ikhsan, aturan main tentang pelaksanaan OMSP dalam kerangka tugas perbantuan belum juga dibentuk oleh pemerintah. Sehingga dapat menimbulkan problem akuntabilitas apabila terjadi pelanggaran HAM dalam pelaksanaanya.
Lebih dari itu, pelibatan tersebut juga berpotensi bertentangan dengan Pasal 7 Ayat 3 UU TNI yang menegaskan OMSP hanya bisa dilakukan melalui keputusan politik negara dan bukan sekadar Memorandum of Understanding (MoU) atau keputusan menteri.
“Rencana pelibatan TNI membantu Kemenag sejatinya bertentangan dengan amanat Reformasi 1998 yakni penghapusan dwifungsi ABRI,” ujar dia.
Ia menambahkan, pemerintah sebaiknya fokus pada sejumlah agenda reformasi TNI yang tersisa, seperti pembentukan aturan main OMSP dalam kerangka tugas perbantuan, reformasi peradilan militer, restrukturisasi Komando Teritorial, pemenuhan kebutuhan alutsista modern, dan kesejahteraan prajurit.
Karena itu, koalisi masyarakat sipil menuntut Pemerintah untuk membatalkan rencana pelibatan TNI dalam mengurusi kerukunan umat beragama, mengganti pendekatan keamanan dengan pendekatan dialogis dengan melibatkan semua komunitas agama, termasuk agama-agama yang selama tidak diaku.
Selain itu, meninjau kembali dan merumuskan ulang keterlibatan TNI dalam operasi non-perang yang merupakan campur tangan militer dalam kehidupan sipil sebagai amanat reformasi, demokrasi, dan penghapusan dwifungsi ABRI serta melanjutkan agenda reformasi TNI yang belum terselesaikan.