Kementerian PPPA Telusuri Penyekapan 60 PMI di Kamboja

Nasional7 Dilihat

JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyesalkan terjadinya penyekapan terhadap 60 Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Kota Shonoukvile, Kamboja. 

Atas tindakan itu, Deputi Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati, mengatakan selaku Sekretariat Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), pihaknya akan mendalami kemungkinan adanya TPPO dalam kasus tersebut. 

“Setelah ditelusuri, modus pemberangkatan yang dilakukan oleh pelaku secara unprocedural atau tidak sesuai dengan prosedur menggunakan agensi perseorangan di Indonesia. Hingga saat ini, sudah dilakukan penanganan pada kasus ini,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (1/8).

KemenPPPA sebagai Ketua Harian Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO (GT PP TPPO), bersama pihak-pihak terkait akan terus mengawal kasus tersebut. Terutama, jika ditemukan adanya indikasi TPPO maka proses pemulangan, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, hingga reintegrasi sosial akan dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Baca Lagi: Komnas HAM Ungkap Fakta Baru Kasus Kematian Brigadir J

“Jika tidak adanya indikasi TPPO, artinya para korban merupakan undocumented PMI, maka kami akan berkoordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan terkait treatment dan tindak lanjut apa sajakah yang diperlukan, termasuk berkoordinasi dengan K/L terkait tentang pendampingan yang dibutuhkan,” katanya.

Kejadian itu diduga bermula ketika para korban tergiur dengan informasi lowongan pekerjaan melalui media sosial untuk bekerja di Kamboja sebagai operator, call center, dan bagian keuangan marketing.

Para korban diiming-iming gaji sebesar USD 1.000 sampai USD 1.500 atau sekitar Rp15 juta sampai Rp22,5 juta. Namun, ketika sampai di Kamboja, korban tidak memperoleh sesuai yang dijanjikan pada saat perekrutan. 

Para korban justru dipekerjakan sebagai operator untuk melakukan penipuan dengan modus investasi bodong dengan lokasi penempatan yang juga tidak sesuai dengan kesepakatan. 

Tak hanya itu, sesampainya di Kamboja, paspor para korban pun diambil oleh agen yang bertanggung jawab. Selama bekerja para korban mengalami berbagai macam kekerasan dan eksploitasi, seperti gaji yang dibayarkan tidak sesuai dengan kesepakatan. 

Para korban pun tidak memiliki kebebasan untuk berinteraksi dengan dunia luar dikarenakan ketatnya penjagaan dan pelarangan keluar gedung tempat bekerja. 

Fasilitas dan makanan yang tidak layak pun dirasakan oleh para korban, dimana para korban tidur dengan hanya beralaskan matras di dalam kamar dengan empat belas orang lainnya.

Para korban pun diharuskan membayar sebesar USD 3.000-4.000 atau sekitar Rp 45 – 60 juta rupiah kepada agen jika ingin dipulangkan. Bahkan diancam akan dijual ke perusahaan lain jika tidak memenuhi target perusahaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *