Ken Setiawan: Radikalisme dan Terorisme Itu Fakta, Bukan Stigmatisasi

Nasional322 Dilihat

JAKARTA – Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan, turut prihatin adanya opini bahwa radikalisme dan terorisme seolah labeling dan stigmastisasi pemerintah terhadap agama Islam.

Hal itu meganggapi ditangkapnya seorang wanita benama Siti Elina (SE) yang hendak menerobos masuk ke Istana dengan membawa pistol beberapa waktu lalu. 

Ironisnya, pasca kejadian itu, muncul komentar seorang tokoh yang mengatakan kasus tersebut merupakan bentuk stigmatisasi pemerintah terhadap umat Islam. 

Bahkan tokoh itu meminta masyarakat jangan percaya terhadap radikalisme dan terorisme, karena merupakan bagian dari setting pemerintah menjelang akhir tahun dan tahun politik.

Menurut Ken, narasi tersebut sangat berbahaya, karena sebagian masyarakat yang minim literasi dapat terpengaruh dengan narasi stigmatisasi agama dan tidak adanya ancaman terorisme yang hanya sekedar rekayasa.

Karena itu, kata Ken, perlu edukasi yang lebih massif lagi dari segenap elemen, untuk menyebarkan bahwa melawan radikalisme dan terorisme bukan proses stigmatisasi agama, tetapi justru menyelamatkan agama dari fitnah yang di lakukan kelompok teror.

“Memang ada sebuah fakta ada orang yang belajar dengan guru yang salah, akhirnya menafsirkan dan mengaplikasikan ayat ayat jihad dengan cara yang salah pula,” ujarnya di Jakarta, Kamis (3/11/2022). 

“Hal itulah yang dialami oleh SE dimana mendapat doktrin dan pengaruh dari gurunya dan suaminya yang juga terungkap menjadi bendahara NII Jakarta Utara,” lanjutnya.

Ia menjelaskan, ideologi NII tidak akan pernah mati, justru saat ini cukup masif, terutama dikalangan perempuan. Hal itu dibuktikan dengan beberapa pelaku aksi terorisme yang melibatkan kaum perempuan. 

Sebelum kasus SE, kejadian penyerangan Mabes Polri juga dilakukan oleh seorang perempuan, juga bom bunuh diri di Surabaya dan Makassar.

“Perempuan lebih rentan karena bila sudah bergabung dengan NII atau HTI dan terikat pernikahan, maka dia ketaatan pada kelompoknya lebih kuat,” kata dia.

Bahkan, lanjut Ken, banyak laporan pengaduan kasus yang diterima NII Crisis Center akhir akhir ini adalah perempuan, tidak sedikit yang berpendidikan S1 dan S2 di perguruan tinggi ternama di Indonesia.

Ia juga mendorong dibuatnya regulasi untuk melarang ideologi-ideologi yang diusung kelompok-kelompok radikalisme itu di Indonesia. 

“Ini penting karena jelas ideologi-ideologi itu bertentangan dengan ideologi bangsa yaitu Pancasila,” ujar dia.

“Saat ini belum ada payung hukum yang dapat menindak paham radikalisme seperti NII, khilafaisme, salafisme, wahabisme dan lain-lain. Kalau pun ditindak hanya organisasinya, itupun hanya dengan pasal yang ringan, bila mereka ganti nama maka mereka bisa kembali melakukan perekrutan dan penggalangan dana,” tambahnya.

Dalam hal ini, kata Ken, butuh ketegasan negara agar dapat memberantas paham radikalisme yang mengatasnamakan agama. Pasalnya, tak satu pun agama di muka bumi yang mengajarkan kekerasaan, merusak, apalagi membunuh sesama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *