CILACAP – Hukuman bagi narapidana terorisme (napiter) tidak bisa disamakan dengan pelaku pidana lain seperti pembunuhan, narkotika, dan semacamnya yang menggunakan masa lama tahanan.
Meskipun sudah dikenakan 25 tahun masa hukuman, namun napiter tersebut keluar dalam keadaan masih merah, ia akan tetap berbahaya di tengah masyarakat.
Demikian diungkapkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI, Komjen Pol Rycko Amelza Dahniel, saat melakukan kunjungan kerja di Pulau Nusakambangan, Sabtu (11/11/2023).
“Mazhab hukuman harus diubah. Hukum teroris itu harusnya bukan hitungan tahun, tapi kapan cara berpikirnya berubah. Jika enam bulan sudah berubah, maka ia bisa dibebaskan,” ujarnya.


Ia menjelaskan, program deradikalisasi yang tercantum dalam UU No. 7 Tahun 2021, sifatnya adalah sukarela.
Olehnya itu, tindakan efektif agar tantangan ini bisa dijawab dengan baik. Rycko mengusulkan tentang perlunya meninjau kisah para napiter yang sukses dideradikalisasi sebelumnya.
“Kita belajar dari success story mereka yang sudah berhasil (hijau), di mana mereka tersentuh sehingga bisa dipertimbangkan untuk dilakukan juga (pada yang lain). Success story itu dipelajari, dievaluasi, sembari tetap membuka pintu terhadap potensi apa saja yang bisa membuka hati para napiter,” katanya.
“Kita harus sukseskan program deradikalisasi agar semua orang bisa seperti Umar Patek, untuk melakukan sosialiasi kepada yang belum berubah,” lanjutnya.
Ia menegaskan, bangsa Indonesia dibangun atas dasar perbedaan, maka paham yang tidak bisa menerima perbedaan bisa sangat mengancam keutuhan bangsa.


Status rekrutmen ini menurutnya, juga perlu dipahami karena sejatinya simpatisan dan pelaku bom adalah korban dari ideolog.
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham RI, Irjen Pol Reynhard Saut Poltak Silitonga, mengatakan petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tidak lagi menghukum, tapi membina supaya napi kalau keluar tidak mengulangi lagi perbuatannya.
“Para napi dilatih kepribadian dengan kajian keagamaan, dan kemandirian dengan berbagai pelatihan,” katanya.
Sementara Direktur Deradikalisasi BNPT RI, Brigjen Pol. R Ahmad Nurwakhid, mengungkapkan bahwa pendekatan berbasis kemanusiaan penting untuk membuat napiter merasa diperhatikan.
Karena itu, dalam proses deradikalisasi perlu membangun kepercayaan antara petugas Lapas dan Napiter.
“Trust building dengan pendekatan kemanusiaan perlu dilakukan. Karena itu kita punya rumah singgah untuk keluarga napiter, ada pelayanan pemeriksaan gigi, konseling, supaya mereka terbuka untuk komunikasi,” ujar dia.
“Karena mereka benci pada petugas, maka perlu pendekatan kemanusiaan,” ia menambahkan.


Ia menyebutkan, dari 118 napiter yang masuk dalam program deradikalisasi, tingkat keberhasilannya adalah dua pertiga dari 100 persen, dimana 35 persen berakhir ikrar NKRI, 27 persen berubah namun belum ikrar, sedangkan 38 persen belum berubah sama sekali.
Nurwakhid juga mengingatkan soal perjanjian kerja sama antara BNPT RI dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang dimulai pada tahun 2019 berakhir secara resmi pada Mei 2023.
Kendala sinergitas ini juga menjadi catatan Kalapas Kelas I Batu Nusakambangan, Mardi Santoso.
Ia menyinggung soal absennya tenaga psikologi dan program perencanaan pembinaan kepribadian berdasarkan tingkat pemahaman radikalisme.
“Salah satu kendalanya adalah keluarga dan masyarakat belum bisa menerima napiter yang mendapat program integrasi,” kata Kalapas.
Ia berharap adanya peningkatan dalam kerjasama antara BNPT RI dan Ditjen PAS dalam beberapa aspek, seperti dalam hal peningkatan pembinaan kepribadian (kajian agama) dan peningkatan SDM pamong napiter melalui pelatihan disesuaikan dengan perkembangan penyebaran paham radikal.
“Di Lapas Permisan, kami lebih fokus pada aspek kemandirian seperti membatik, tata boga, sablon, dan sebagainya. Namun, tetap sinergi dan kerjasama dengan BNPT tetap perlu ditingkatkan,” ujar dia.