SURABAYA – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus berusaha menekan doktrin yang dilakukan kelompok terorisme, sehingga dapat mengikis nilai nasionalisme.
Karenanya, BNPT menggandeng tokoh masyarakat, khususnya tokoh agama dan stakeholder terkait, untuk menggelorakan semboyan Hubbul Wathon minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman) dari masa ke masa.
Demikian dikatakan Kepala BNPT RI, Komjen Pol Boy Rafli Amar, usai meresmikan WARUNG NKRI (Wadah Akur Rukun Usaha Nurani Gelorakan Negara Kesatuan Republik Indonesia) di Surabaya, Sabtu (29/10/2022).
Boy mengatakan, ada tujuh karakteristik ideologi radikal yang digunakan teroris untuk melakukan doktrin, di antaranya penyalahgunaan narasi agama, sikap anti kemanusiaan, ekstrimisme, anti negara dan Pancasila.
“Ideologi transnasional ini, memiliki tujuan ideologis dan politik, serta bersifat intoleran dan eksklusif,” ujarnya.
“Jangan sampai kelompok teroris ini mempengaruhi pihak-pihak anak muda kita ke depannya. Jadi kita berkolaborasi dengan pemuka agama, tokoh agama yang mewariskan prinsip Hubbul Wathon Minal Iman itu untuk terus menyuarakannya, dari masa ke masa, elemen masyarakat, jadi semua tercerahkan,“ lanjutnya.
Meski ideologi radikal terorisme terus bergerak mencari pengikut, pihaknya mengaku dapat mengidentifikasi. Sebab paham radikal terorisme di Indonesia seperti virus penyebar intoleransi.
“Makanya kita harus membangun sistem imunitas kita. Program Warung NKRI ini membangun sistem imunitas bangsa, menghadapi pemikiran intoleran, menghadapi yang setuju dengan paham-paham ideologi terorisme,” katanya.
Pemprov Jatim Terbitkan Aturan Mempersempit Gerakan Teroris
Dalam kesempatan itu, Wakil Gubernur Jatim, Emil Elistianto Dardak, menambahkan, ada beberapa hal ciri seseorang bersikap intoleran setelah terpapar paham radikal. Di antaranya absolutisme (kesombongan intelektual), ekslusivisme (kesombongan sosial), fanatisme (kesombongan emosial), ekstrimisme (berlebihan dalam bersikap), dan agresivisme (berlebihan dalam melakukan tindakan fisik).
“Tidak semua aksi radikal mempunyai basis keagamaan. Tetapi, tidak sedikit radikalisme yang terjadi atas nama agama,” katanya.
Untuk mengantisipasi pergerakan teroris tumbuh di wilayah Jawa Timur, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim telah membuat aturan untuk mempersempit pergerakan teroris.
“Kita punya Pergub tahun 2012 nomor 55 tentang pembinaan agama dan pengawasan aliran sesat, penerbitan Pergub yang melarang keberadaan ISIS di Jatim, Perda Jatim nomor 8 tahun 2018 dan Keputusan Gubernur Jatim tentang larangan aktivitas Jamaah Ahmadiyah di Jatim,” kata dia.
Sementara Mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan, mengaku lega setelah dipertegas Jatim memiliki regulasi yang mempersempit pergerakan teroris.
“Kita tenang karena programnya sudah bagus dan tertata. Maka, bagi orang seperti saya kenapa terorisme itu tidak boleh terjadi? Karena itulah ancaman paling tinggi yang menakutkan banyak orang. Jadi unsur menakutkan banyak orang ini yang harus kita hilangkan,” katanya.
Menurutnya, teroris dapat menghambat kemajuan sebuah negara karena ketakutan yang ditimbulkan itu meluas. Oleh sebab itu, negara harus totalitas dalam melawan terorisme.
Media Sosial Jadi Wadah Penyebaran Radikal Terorisme
Begitu juga dengan Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jatim, Arief Rahman, mengatakan penyebaran paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme kini semakin mudah dan masif, dengan penggunaan media sosial yang menjadi medium penyebaran informasi tak terverifikasi.
Apalagi di Indonesia saat ini pengguna aktif sosial media seperti Whatsapp, Twitter, Facebook, Youtube, Instagram dan TikTok mencapai 191 juta.
“Bangsa kita selama ini penuh dengan keramahan, adab sopan-santun seperti yang diajarkan para orang tua. Local wisdom kita seperti itu. Tapi tidak kelihatan sama sekali sekarang ini di medsos kita,” ujar dia.
Menurutnya, hal tersebut bisa jadi pupuk untuk menumbuhkan ekstrimisme dan radikalisme, jika terus dibiarkan. Oleh sebab itu, masyarakat lebih bijaksana dalam bersosial media dan mencerna serta menyebarkan informasi.
“Apalagi informasi yang belum jelas kebenarannya dan cenderung menyesatkan serta memecah belah kesatuan bangsa kita,“ kata Arief Rahman.
“Jadi kalau publik lebih bijak dalam menerima informasi, ngga ada itu intoleransi dan perpecahan meskipun kita berbeda,” lanjutnya.
Ketua PW GP Anshor Jawa Timur, Syafiq Syauqi, menyoroti pentingnya perimbangan narasi keagamaan yang lebih moderat.
Ia mengatakan, tokoh muda dan ulama-ulama dengan pandangan dan pemikiran moderat, perlu terus dimunculkan dan diberi ruang serta saluran untuk menyapa publik
2 komentar