JAKARTA – Aksi terorisme berkaitan erat dengan pemahaman radikalisme suatu individu hingga kelompok. Keduanya mengakar dengan pemahaman yang keliru terhadap pemikiran nasional. Bahkan aksi terorisme terbukti tidak memandang kalangan-kalangan tertentu.
Demikian dikatakan Kepala Datasemen Khusus (Kadensus) 88 Antiteror Mabes Polri, Irjen. Pol. Marthinus Hukom, saat membawakan kuliah umum di Institut Teknologi Bandung (ITB), dilansir dari laman ITB, Minggu (27/11/2022).
“Semua orang bisa terjerat bahkan sejak SMA sekalipun,” ujarnya.
Belum lagi oknum-oknum yang frustasi dan mudah terpengaruh oleh embel-embel fana yang keliru. Oleh karena itu, kata Marthinus, memang begitu pentingnya peserta didik baik siswa di sekolah maupun mahasiswa dibekali pengetahuan untuk jauh-jauh dari tawaran terorisme yang amat merugikan.
“Terorisme dan radikalisme merupakan ancaman nyata terhadap kehidupan dan keberlangsungan NKRI. Peran aktif dan kerja sama berbagai komponen bangsa dibutuhkan dalam upaya penanganan radikalisme terorisme yang bertentangan dengan ideologi negara,” kata Marthinus.
Pemahaman-pemahaman menyimpang, kata dia, kerap kali berujung pada keinginan untuk disintegrasi dari wilayah NKRI. Ancaman ini bisa terjadi kapan saja dengan berbagai motif yang dibawa seperti politik, agama, sosial, dan lain-lain.
Marthinus mengungkapkan, proses terjadinya terorisme diawali dengan adanya polarisasi yakni pembentukan kelompok-kelompok ekstrem tertentu. Kemudian dalam kelompok tersebut mulai ada doktrin yang mampu memisahkan kesadaran dan fisik seseorang dengan mengakar atau radikal.
Pemikiran doktrin keliru inilah yang menggiring aksi superior dan bersifat terus melawan. Jika dilihat dari sudut pandang keuntungannya, kasus terorisme terbagi menjadi tiga bagian.
Pertama adalah patron-client yakni ketika memiliki kedudukan makin tinggi, makin banyak pengikut yang sukarela menjadi pelayan. Kedua simbiosis mutualisme yang berarti keduanya menguntungkan satu sama lain tanpa ada yang dirugikan. Ketiga adalah inti dan cangkang yakni seringkali para ideolog ekstrem bisa berbuat bebas berkat adanya akses pelindung dari pihak lain.
Menurut dia, dalam teori Charles Kimball menyatakan, ada lima tanda yang perlu diwaspadai di antaranya klaim kebenaran mutlak, kepatuhan buta, membangun zaman ideal, tujuan menghalalkan segala cara, dan menyerukan perang suci.
Kebanyakan pelaku teroris pada dasarnya hanya menggunakan kepercayaan seperti agama mereka sebagai alat pembenaran atas tindakan mereka. Pencegahan (terorisme) bukan hanya menangkap, melainkan ada juga yaitu dengan konsep deradikalisme dengan menghadirkan kembali negara kepada mereka.
“Penangkapan terorisme tidak boleh dilakukan dengan kekerasan karena hal itu akan membuat lingkaran kekerasan yang baru. Belum lagi para teroris bersikap siap mati membela apa yang ia percayai,” kata dia.