JAKARTA – Serangan Israel lewat darat, laut, dan udara di Jalur Gaza telah menyebabkan kehancuran yang sangat besar di wilayah Palestina.
Perkiraan terbaru dari organisasi-organisasi internasional tentang dampak konflik tersebut, terhadap kehidupan sosial dan ekonomi di sana.
Dikutip dari Antara, Senin (13/11/2023), data dari Departemen Pekerjaan Umum dan Perumahan Palestina, Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) mengatakan, serangan Israel telah menghancurkan lebih dari 41.000 tempat tinggal dan merusak lebih dari 222.000 lainnya.
Sedikitnya 45 persen tempat tinggal di Gaza dilaporkan rusak atau hancur.
Meski belum diverifikasi secara independen, para jurnalis Reuters di Gaza mengatakan, kehancuran di sana sangat besar.
Seorang wartawan Israel yang diajak militer Israel untuk melihat-lihat Kota Beit Hanoun di Gaza melaporkan pada Minggu bahwa “hampir tidak ada bangunan layak huni yang masih berdiri.”
Lebih dari 52.000 orang tinggal di kota itu sebelum perang meletus.
Dalam laporannya pada 10 November, OCHA mengatakan, 279 fasilitas pendidikan, atau lebih dari 51 persen, dilaporkan rusak. Tidak seorang pun dari 625.000 siswa di Gaza kini bisa mengenyam pendidikan.
Disebutkan pula bahwa lebih dari setengah jumlah rumah sakit di Gaza dan hampir dua pertiga jumlah fasilitas kesehatan primer tidak berfungsi, dan 53 ambulans rusak.
Semua rumah sakit yang jumlahnya 13 di Kota Gaza dan Gaza utara telah diperintahkan oleh militer Israel untuk dikosongkan.
Menurut OCHA, konsumsi air telah anjlok 90 persen sejak perang dimulai. Dua pertiga saluran air dari Israel berfungsi, tetapi ada kebocoran sebesar 50 persen dari saluran pipa utama antara Rafah di perbatasan Mesir dan Khan Younis di Gaza selatan, di mana banyak warga dari Gaza utara mengungsi.
“Sebagian besar dari 65 pompa air limbah Gaza tidak berfungsi,” kata OCHA.
Gaza memiliki cadangan gandum yang seharusnya cukup untuk 12 hari, tetapi pabrik pengolahan tepung satu-satunya di wilayah itu tidak beroperasi akibat pemadaman listrik.
Tidak ada stok minyak goreng, kacang-kacangan, gula, atau beras. Rata-rata masyarakat di sana harus antre 4-6 jam untuk mendapatkan jatah roti separuh dari biasanya.
Sebelum perang, rata-rata 500 truk pengangkut makanan dan barang memasuki Gaza setiap hari. Namun, semua kiriman dihentikan sejak 7 Oktober dan baru dilanjutkan lagi pada 21 Oktober.
Sejak itu hingga 10 November, tercatat hanya ada 861 truk yang membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Dalam sebuah laporan bersama, Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat (ESCWA) dan Program Pembangunan PBB (UNDP) pada 5 November mengatakan bahwa sekitar 390.000 pekerjaan telah hilang sejak awal perang.
Kondisi sosial ekonomi di Gaza sudah sangat sulit sebelum perang, ketika angka kemiskinan mencapai 61 persen pada 2020.
Dalam perkiraan awal, kedua badan PBB itu mengatakan kemiskinan di Gaza diperkirakan bakal meningkat 20-45 persen, tergantung lamanya perang akan berlangsung.
Mereka juga memperkirakan bahwa perang tersebut akan menghabiskan biaya sebanyak 4-12 persen dari produk domestik bruto Gaza pada 2023.