Kode Etik Jurnalistik, ‘Senjata’ Wajib Pers Perangi Hoax

Nasional6 Dilihat

JAKARTA – Kode etik jurnalistik menjadi hal wajib bagi para pekerja pers. Apalagi di era digital yang mengharuskan insan pers berperang melawan kemajuan teknologi informasi teknologi berupa media sosial (medsos).

Sebab dari beberapa temuan, medsos lebih digunakan untuk mencari informasi dari pada harus membaca media mainstream. Bahkan tak jarang, media mainstream dijadikan konten medsos sebagai berita. Padahal, di medsos banyak dipenuhi berita bohong (hoax), adu domba, dan politik identitas. Sehinngga memunculkan disinformasi dan mematikan literasi.

Mantan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, menjelaskan ada beberapa kesalahan dari wartawan media mainstream yang tak memahami kaidah jurnalistik secara benar. Dimana kerap mengambil sumber informasi yang sebelumnya tak dilakukan cek dan ricek, seperti medsos. 

“Boleh saja konten medsos menjadi sumber informasi, tapi tetap tugas jurnalistik adalah melakukan cek dan ricek, memeriksa fakta, kemudian setiap informasi itu harus diverifikasi, klarifikasi, dan dikonfrontasi kepada pihak-pihak terkait,” ujar di Jakarta, Kamis (6/2/2020).

Ia menegaskan, informasi yang berseliweran di medsos, misalnya Facebook, tak serta merta menjadi bahan untuk jadi berita. Sebab apabila ada pihak yang berkeberatan, media tersebut dapat dilaporkan ke Polisi. 

“Polisi pasti akan berkoordinasi dengan Dewan Pers, kalau kemudian Dewan Pers mengatakan itu bukan produk jurnalistik, ya bisa terkena UU ITE atau UU pidana yang lain,” katanya.

Di medsos, lanjut Yosep, semua orang bisa menulis dan di memforward kemana-mana hingga kemudian viral. Ia mencontohkan soal wabah virus corona, yang informasinya dimuat oleh media mainstream, namun lebih tersebar di jejaring sosial.

“Kalau kita lihat media-media mainstream yang berbadan hukum mereka tetap melakukan klarifikasi dari sumber-sumber resmi seperti Kementerian Kesehatan dan Kemenlu, tapi kalau di medsos tidak, dan celakanya malah yang di medsos yang cepat viral,” ujar dia.

Oleh sebab itu, menurutnya pemerintah bersama Dewan Pers harus bersinergi membangun wawasan tentang media literasi. Disamping masyarakat juga harus berperan aktif melaporkan informasi-informasi yang tidak benar.

“Jadi aparat kepolisian bekerjasama dengan Kemkominfo melakukan proses tindakan hukum dan pemblokiran akun. Lalu kementerian terkait seperti Kemendikbud dan yang lain juga bisa ikut berperan untuk membantu sosialisasi kepada murid dan masyarakat, termasuk juga BNPT untuk mencegah penyebaran paham radikalisme dan terorisme,” kata dia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *