Lawan Kelompok Radikal di Dunia Maya, Konten Kontra Narasi Harus Lebih Banyak

Nasional968 Dilihat

JAKARTA – Narasi dan argumentasi yang membawa pengaruh ideologi transnasional seringkali dihembuskan para kelompok intoleran dan radikal di ruang publik. 

Sebagai penanggulangannya, kelompok agamis yang moderat harus memberikan kontra narasi yang menyasar semua kalangan, khususnya para generasi muda.

Co-founder Peace Generation, Irfan Amalee, menjelaskan partisipasi anak muda harus lebih sering frekuensinya. Algoritma yang bekerja di pencarian dalam internet akan selalu memprioritaskan sesuatu yang banyak dan sering diterbitkan.

“Jumlah konten kontra narasi itu harus jauh lebih banyak. Ibarat air dalam suatu wadah, jika ia dimasukkan setitik zat pewarna, maka untuk membersihkannya perlu air jernih yang lebih banyak sehingga air dalam wadah tersebut bisa lebih jernih,” ujarnya di Jakarta, Rabu (6//9/2023).

Menurut dia, generasi muda Indonesia seringkali dihadapkan pada perdebatan yang tidak produktif di dunia maya. Contohnya benar atau salah, halal atau haram, Pancasila atau khilafah, dan lain sebagainya. 

Seolah tidak pernah menyerah, kaum intoleran dan radikal terus menggambarkan Pancasila sebagai suatu kemunduran dan khilafah adalah solusinya.

Pembenaran terhadap ideologi transnasional, lanjut dia, biasanya dilakukan dengan memunculkan narasi historis. Sebagai contoh, masa kekhalifahan Usmani seringkali diagung-agungkan sebagai contoh sistem khilafah yang bisa membawa rakyatnya pada kemakmuran. Nyatanya, jauh panggang dari api.

“Untuk melawan pengusung khilafah yang biasanya menonjolkan narasi historisnya, kita bisa membawa contoh kekhalifahan pada masanya Khulafaur Rasyidin. Apakah Khulafaur Rasyidin, yang dianggap sebagai kekhilafahan yang terbaik dan masih dibawah bimbingan Rasulullah dan para sahabat terdekat, itu menggunakan sistem khilafah yang sama dengan yang digaungkan oleh kelompok intoleran? Tentu saja berbeda,” jelas Irfan.

CEO dari Mizan Application Publisher ini pun menambahkan, jika menyelisik narasi teologis, bisa minta ditunjukkan tentang ayat-ayat yang mengarahkan manusia menerapkan sistem khilafah. 

Padahal di dalam Quran telah dijelaskan, ‘wasyawirhu fil amri,’ yang berarti ‘musyawarah lah dalam perkaramu.’ Ini jelas sesuai dengan sistem demokrasi yang indonesia jalankan.

“Atau misalnya kita mau menggunakan narasi logis, dalam hal ini tentang nasionalisme, kita bisa merujuk pada ijtihad-ijtihad para ulama. Di Indonesia para ulama bisa diwakili dari Muhammadiyah dan NU. NU ulama-ulamanya sudah bersepakat dalam muktamar NU ke-34, yang menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang sesuai dengan konsep Islam,” katanya.

“Muhammadiyah pun serupa, sudah menentukan juga dalam acara muktamarnya  yang ke-47, bahwa Indonesia adalah ‘darul ahdi wa syahadah’ yang berarti ‘negara kesepakatan dan persaksian.’ Nah jadi kita ittiba saja pada narasi logisnya para ulama. Jadi dari berbagai sudut, baik narasi secara historis, teologis, maupun logis, khilafah itu tidak relevan dan Pancasila bukan sesuatu yang face to face terhadap khilafah, jelas berbeda levelnya,” lanjut Irfan.

Menurutnya, kelompok intoleran dan radikal biasanya mengangkat narasinya dengan memanfaatkan search engine optimization, sehingga website yang mereka kelola bisa bertengger di urutan paling atas.

Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir website-website yang cenderung konservatif dan radikal itu sudah relatif kalah oleh website-website yang kelompok moderat kelola. Hal ini terjadi karena kelompok moderat sudah mulai aktif dan terasa kehadirannya di dunia maya dibandingkan sebelumnya.

“Kalau dulu, yang moderat masih sebagai silent majority, kelompok dengan jumlah terbanyak tapi cenderung diam, namun sekarang mereka sudah mulai aktif. Kelompok radikal ini sebenarnya kan jumlahnya sedikit, cuma mereka sangat aktif. Mereka ini istilahnya noisy minority, kelompok yang sedikit tapi sangat aktif dan membuat bising,” jelas Irfan

Dirinya menganalisis, masyarakat Indonesia sudah semakin matang dalam mengenali hoax atau berita bohong yang disebar. Namun perlu diketahui bahwa hoaks atau disinformasi adalah suatu industri yang digerakkan dengan motif ekonomi.

“Mereka tentunya tidak ingin situasi Indonesia tenang-tenang saja, karena dalam ketenangan mereka tidak bisa mendulang keuntungan. Pasti akan ada yang mencari, mendambakan, dan menunggu situasi yang tidak kondusif. Nanti tinggal dilihat saja antara kepentingan penyebaran hoax dengan kematangan publik,” katanya.

Irfan mengatakan, prinsip moderasi beragama bisa diterapkan salah satunya dengan memiliki sifat tawasuth. Tawasuth bukan berarti tidak berpendirian, tetapi dia bisa menjadi jembatan bagi semua pihak, baik kiri maupun kanan. 

Ketika ada informasi yang datang padanya, dia lakukan cross-check. Dengan begitu, dia tetap berada di tengah dan tidak terbawa arus. Hal ini menjadi penting terutama karena sebentar lagi kita merayakan pemilihan umum yang rentan dengan polarisasi dan segregasi.

“Dengan memiliki sifat tawasuth, kita bisa tetap berada di tengah bagaimanapun kerasnya polarisasi politik yang terjadi. Walaupun kita punya pilihan, tetapi kita tidak hanyut dengan pilihan kita,” kata dia.

“Jadikan event politik itu sebagai sebuah kewajiban warga negara untuk memilih, bukan untuk berdiri di satu pihak dan kemudian terjadi polarisasi yang sangat hebat. Semangat moderasi beragama bisa terus hidup jika semua bersikap tawasuth dalam berpikir dan bertindak, khususnya dalam mengonsumsi informasi yang datang padanya,” tambah Irfan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *