SAMARINDA – Salah satu tantangan duta damai dunia maya adalah memberikan kontra narasi alternatif yang mencerdaskan masyarakat dalam melawan narasi-narasi kelompok radikal terorisme. Diharapkan narasi-narasi perdamaian, kebangsaan, toleransi, menjadi masif dan dilakukan bersama-sama oleh seluruh duta damai melalui website maupun di media sosial (medsos).
Demikian diungkapkan Deputi 1 Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Mayjen TNI Hendri Paruhuman Lubis saat menghadiri kegiatan “Regenerasi Duta Damai Dunia Maya Regional Kalimantan Timur Melalui Asistensi Bidang Penulisan, Desain, Komunikasi Visual dan IT Dalam Rangka Pencegahan Terorisme Bulan Agustus T.A. 2020” di Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim), Kamis (27/8/2020).
“Kami menyadari betapa pentingnya suatu gerakan bersama khususnya generasi muda untuk selalu memberikan pembanding, sekaligus pencerahan bagi masyarakat dengan membanjiri dunia maya dengan konten positif dan pesan damai,” ujarnya.
Ia menjelaskan, program duta damai dunia maya merupakan salah satu program unggulan BNPT dalam melibatkan generasi muda, guna membanjiri dunia maya dengan pesan damai dan konten perdamaian.
Sejak dibentuk 2016 sampai 2018, BNPT telah memiliki komunitas duta damai di 13 provinsi dengan jumlah anggota 780 orang.
Sebagai komunitas yang bersifat kerelawanan dan tidak mengikat, dalam perjalannya para anggota dua damai ini mengalami dinamika.
Oleh karena itu, lanjut Hendri, untuk tetap menjaga soliditas di setiap daerah, dipandang penting melakukan regenerasi dan kaderisasi agar duta damai dunia maya terus berjalan dan tetap produktif.
“Tahun ini Kaltim mendapat kesempatan pertama untuk melakukan regenerasi keanggotaan. Semoga regenerasi ini menjadi energi tambahan bagi duta damai dunia maya Kaltim untuk terus berkarya dan berkontribusi untuk kemajuan bangsa,” kata dia.
Ia menegaskan, generasi muda sangat penting dilibatkan dan dirangkul dalam upaya menyebar konten damai di dunia maya. Bahkan dari data jaringan terorisme dan dunia maya telah menandai momentum lahirnya fenomena baru yaitu terorisme di dunia maya atau cyber terrorism.
Dalam fenomena ini, pola propaganda, rekrutmen, indoktrinasi telah mengalami transformasi dari konvensional ke digital.
“Hari ini kita tidak lagi terkejut ada pelaku teror yang mengalami radikalisasi hanya melalui dunia maya yang tidak bertemu dan tidak terikat dengan jaringan besar kelompok teroris. Fenomena baru ini tentu sangat mengkhawatirkan,” ujar dia.
Menurut Hendri, generasi muda saat ini adalah generasi yang tumbuh dan berkembang dengan kemajuan teknologi digital.
Askses informasi melalui dunia maya seolah menjadi bagian primer untuk mendapatkan pengetahuan. Namun, tingginya aktifitas generasi muda dalam mengakses dunia maya tidak diikuti dengan kemampuan literasi media dan literasi digital. Di sisi lain, banyak disesaki konten negatif, hoax, fitnah, adu domba, dan ajakan kekerasan.
“Ironisnya hoax dan disinformasi yagn menyesatkan itu kerapkali digunakan kelompok radikal sebagai upaya membangun narasi propaganda yang bertujuan meradikalisasi masyarakat,” ujar Hendri.
Ia menambahkan, akhir-akhir ini ada narasi yang dikembangkan kelompok radikal mencoba memanipulasi sejarah bangsa. Tidak hanya hoax, mereka justru ingin mengembangkan narasi yang bersifat manipulatif bahwa seolah sejak dulu bangsa Indonesia telah mengadopsi sistem pemerintah agama tertentu.
“Ini salah satu tantangan duta damai dunia maya untuk memberikan narasi alternatif yang mencerdaskan masyarakat. Saya sangat berharap narasi-narasi seperti itu bisa dilakukan kontra narasi yang masif tentang pelurusan sejarah bangsa,” kata Hendri.
Sementara, Direktur Pencegahan BNPT, Kombes Pol. R. Ahmad Nurwahid, mengatakan duta damai dunia maya harus memiliki imunitas ideologi, bahwa Indonesia adalah Pancasila, UUD ’45, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI sesuai konsensus nasional.
“Harus diwaspadai kelompok radikal, selalu mendikotomi antara nasionalisme, Pancasila, dan agama,” ujarnya.
Ia meminta anggota duta damai membuat konten harus milenial, kekiniaan. Namun nuansa agama tidak ditinggalkan.
“Mereka selalu membenturkan agama yang dipahami secara tekstualistik dengan Pancasila, budaya, kearifan lokal,” katanya.