JAKARTA- Buah pemikiran Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam konteks kebhinekaan sangat jelas, idenya tentang pribumisasi yaitu apapun kepercayaan dan keyakinan agama seseorang, perlu dikontekstualisasikan dalam kebhinekaan Indonesia.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi, di Jakarta, Jumat (11/11/2022).
Pribumisasi yang dikemukakan Gus Dur memiliki makna kontekstualisasi keyakinan agama dengan kebhinekaan Indonesia, beradaptasi dengan kebudayaan yang ada di Indonesia.
Mujtaba menilai, kontektualisasi inilah yang nantinya melahirkan semangat toleransi dan nasionalisme untuk menjaga serta merawat Indonesia dari segala ancaman ideologi transnasional.
Artinya ketika ajaran agama hadir di Indonesia, maka jadi bagian dari Indonesia. Beradaptasi, bertransformasi menjadi Islam Indonesia, Katolik Indonesia, Kristen Indonesia, dan seterusnya.
“Itu yang bisa kita teladani dari Gus Dur. Kepercayaan yang kita anut, kita kontektualisasikan dengan kebudayaan dan kebhinekaan di indonesia,” ujarnya.
Peringatan Hari Pahlawan 10 November, sejatinya memiliki dua makna penting. Pertama, menandai semangat perjuangan bangsa Indonesia, bahwa bangsa ini tidak lahir, tidak terbentuk, dan tidak terbangun dari ruang kosong, tapi dari perjuangan seluruh anak bangsa.
“Semangat ini perlu kita bawa bersama untuk mengisi kemerdekaan Indonesia dengan kreatifitas, dan karya yang terdepan. Sehingga semangat kepahlawanan ini kita serap untuk membawa Indonesia semakin bersinar di dunia global,” kata dia.
Kedua, pahlawan di Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa, banyak agama. Hal ini menurutnya, menunjukkan semangat kebhinekaan, sehingga perlu disadari bahwa kepahlawanan di Indonesia tidak didominasi oleh agama maupun suku bangsa manapun, tapi diiisi oleh elemen bangsa dari ujung Aceh hingga Papua.
Oleh sebab itu, untuk memberikan pemahaman kepada segenap anak bangsa, bahwa tugas yang perlu diemban saat ini adalah merawat Indonesia.
Dimana Indonesia dilahirkan dengan susah payah oleh para pendahulu, dari usaha-usaha sekelompok orang yang ingin mendeligitimasi kebhinekaan Indonesia.
“Ketika ada usaha untuk mendeligitimasi kebhinekaan Indonesia, nah itu perlu sama-sama untuk kita counter. Kita bukan counter orangnya, tapi mereduksi usahanya. Langkahnya yang berupaya mengikis filosofi kemerdekaan,”katanya.
Ia berharap, pemerintah mampu menciptakan upaya yang lebih konkrit ditingkat praktis terhadap penanaman nilai Pancasila, di mulai dari tingkat pendidikan.
Bukan hanya sekedar cerita dan teori. Namun menembus kepada pendalaman praktik nilai-nilainya dan mewujudkannya. Untuk itu perlu langkah kolaborasi dari seluruh pihak.
“Misalnya dari tingkat pendidikan, masih banyak menemui kasus diskriminasi atas nama agama. Di sekolah, Pancasila pasti diajarkan. Tetapi kita butuh lebih dari sekedar pengajaran yang bersifat deduktif, bersifat formal mata pelajaran, tapi perlu pendalaman praktik nilai-nilainya dan menciptakan kultur kebhinekaan di tingkat paling kongkrit,” kata dia.
Menurutnya, Wahid Foundation didirikan untuk memajukan visi kemanusiaan KH Abdurrahman Wahid dalam memajukan pengembangan toleransi, keberagaman dalam masyarakat Indonesia.
Selain itu, Wahid Foundation berperan aktif melalui upaya pendalaman dan perluasan program, bersama dengan berbagai stakeholder, baik pemerintah pusat maupun daerah, tak terkecuali Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui program implementasi Rencana Aksi Nasional – Penanggulangan Ektrimisme berbasis Kekerasan (RAN-PE).
“Yang kita lakukan sekarang adalah pendalaman dan perluasan. Jadi program yang kita lakukan, baik di desa atau sekolah bahkan ruang digital kita perdalam dan perluas komunitasnya,” ujar dia.
1 komentar