JAKARTA – Kelompok pengusung khilafah semakin berani unjuk gigi, bahkan kerap memanfaatkan celah hukum dalam aksinya menjaring simpatisan.
Tentunya masyarakat geram akan hal ini dan berharap pemerintah bisa menertibkan penyebaran paham atau ideologi yang meresahkan sebagaimana pemerintah pernah memberantas komunisme melalui regulasi yang tajam dan tegas.
Demikian dikatakan mantan anggota Negara Islam Indonesia (NII) yang saat ini sebagai Pendiri NII Crisis Center , Ken Setiawan, di Jakarta, Jumat (10/6).
Menurut dia, konvoi dan kampanye ideologi khilafah yang dilakukan secara terang-terangan, sebagai akibat dari lemahnya regulasi negara yang mengatur terhadap paham yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
“Karena memang masih ada celah hukum, yang mana lemahnya hukum kita yang belum bisa menindak mereka dengan pasal terorisme atau makar,” ujarnya.
Ia melanjutkan, yang menjadikan situasi ini kian miris adalah ketika paham ini mulai menjangkiti tidak hanya masyarakat biasa, namun juga sudah masuk kepada aparat negara seperti TNI-Polri, ASN hingga kepada kalangan publik figur dan artis.
“Tema-tema Khilafah sekarang mulai ramai kembali, mereka ini selalu berlindung atas nama kebebasan berpendapat, ini demokrasi, sehingga mereka menggunakan celah ini untuk menyampaikan propaganda-propagandanya ditengah masyarakat,” katanya.
Baca Lagi: Ma’ruf Amin: Jihad Harus Dimaknai dalam Situasi Damai, Bukan Perang
Ken kembali menegaskan urgensi terkait pengkajian regulasi yang melarang adanya ideologi yang bertentangan dengan ideologi bangsa yaitu Pancasila.
Karena ia menilai, hal ini tidak bisa dibiarkan terkait kian masifnya perkembangan jaringan kelompok radikal yang justru dapat membahayakan bangsa Indonesia.
“Jadi kita berharap regulasi yang jelas. Kalau mereka bicara Khilafah, kita berharap mereka bisa ditindak dengan hukum. Karena kalau tidak maka apparat seperti melihat di dalam kaca, tidak bisa menyentuh. Hanya bisa memonitor, menunggu mereka melakukan aksi. Ini kan mengkhawatirkan,” kata dia.
Pembubaran Ormas Radikal Bukan Solusi Efektif
Langkah pembubaran kelompok atau ormas radikal seperti pembubaran Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), bukanlah menjadi solusi yang efektif untuk melindungi masyarakat dari pengaruh paham radikal terorisme.
“Selama ini yang terjadi adalah ormas radikal hanya ditindak secara organisasinya saja, sementara orang-orangnya ketika ganti nama mereka bisa melakukan propagandanya kembali dengan nama-nama yang lain,” ujar dia.
Pasalnya, tidak hanya berlindung dibalik Hak Asasi dan juga kebebasan berpendapat, namun kelompok ini juga kerap berupaya mengambil simpati masyarakat melalui kedok gerakan sosial, seperti kerja bakti, donor darah dan berbagai kegiatan yang seolah-olah ingin membantu masyarakat. Dan hal ini menurutnya harus menjadi kewaspadaan bagi masyarakat.
“Sehingga yang terjadi masyarakat susah untuk mengidentifikasi dan akhirnya banyak masyarakat yang bersimpati dan bergabung kesana,” katanya.
Untuk itu, selain penajaman regulasi dirinya juga berharap ada upaya konkrit lainnya dari pemerintah khususnya Kementerian Agama untuk mengkaji aturan terkait sertifikasi penceramah, sehingga orasi-orasi keagamaan yang ada di masyarakat bisa menyejukkan, mempersatukan antar umat beragama agar terhindar dari perpecahan.
“Bukan hanya agama Islam saja, tetapi juga termasuk agama yang lain. Karena selama ini banyak sekali orasi-orasi keagamaan yang malah justru mengandung ujaran kebencian, hujatan dan caci maki. Tentunya hal ini kalau tidak ditindak seolah-olah ini pembenaran,” kata dia.
Ia mengimbau, seluruh masyarakat untuk dapat berguru khususnya yang menyangkut keagamaan dengan guru yang tepat dan moderat, tentunya disitulah yang menjadi salah satu pintu masuk paham-paham radikalisme yang mengatasnamakan agama.
“Kepada seluruh masyarakat untuk belajar agama dengan guru yang jelas, dengan guru yang moderat. Dan agar para orang tua juga behati-hati dalam menyekolahkan anaknya ke sekolah maupun ke institusi Pendidikan berbasis agama,” katanya.
Ia pun berharap agar masyarakat mampu membangun pola pikir kritis terhadap informasi yang diterima, jangan sampai menjadi korban hoaks atau menjadi pelaku karena turut menyebarkan informasi yang salah.
Tidak hanya itu, Ken berpesan agar masyarakat harus berani menolak bila diajak mengikuti kajian-kajian yang mengkafirkan orang lain, anti-kebhinekaan, merasa paling benar dan menganggap yang lain salah.
“Tolak ukurnya agama adalah akhlak. Kalau kita menjadi rusak, menjadi pemarah, berarti kita belajar dengan guru yang salah. Stop dan unfollow guru atau penceramah yang telah mengajarkan akhlak kita menjadi rusak,” kata Ken mengakhiri.
1 komentar