JAKARTA – Dalam negara demokrasi, aspirasi dan kritik adalah unsur yang harus tumbuh dalam menyuburkan pemerintahan yang demokratis.
Kritik merupakan hak asasi yang dilindungi undang-undang. Namun, kebanyakan masih kabur antara kritik dan ujaran kebencian yang dapat mencederai persatuan bangsa, terutama jelang tahun politik di Pemilu 2024.
Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Komunikasi dan Media (P2KM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Deden Mauli Darajat, mengungkapkan fenomena maraknya pendapat, kritik atau ujaran kebencian di media sosial.
Menurutnya, media sosial menjadi salah satu alternatif untuk menyuarakan pendapat di saat media mainstream tidak memberikan tempat kepada khalayak, terlebih jarang menampilkan gagasan, kritik dari anak muda.
Namun yang menjadi persoalan, kata Deden, masih kurangnya literasi digital menyebabkan masyarakat tidak bijak dalam menyampaikan pendapat atau gagasannya. Sehingga dengan mudah berpendapat atau memviralkan opini negatif yang menimbulkan kerentanan polemik antar anak bangsa.
“Kekurangan pemahaman tentang literasi digital inilah yang kemudian masih maraknya hate speech dan hoax. Kita, misalnya bertanggung jawab untuk mengingatkan lingkungan di sekitar kita untuk mengurangi hate speech dan hoax,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (11/8/2023).
Ia mengungkapkan, literasi digital dapat diartikan sebagai kecakapan menggunakan media digital untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi dengan etika dan tanggung jawab.
Dengan memiliki kecakapan ini, masyarakat akan berpikir bijak untuk mengakses, mengolah maupun menyebarkan informasi di media sosialnya.
Oleh karena itu, Deden mendorong semua pihak untuk mengkampanyekan pentingnya literasi digital untuk membangun iklim demokrasi yang positif untuk menyambut tahun politik.
Menurutnya, polemik Rocky Gerung yang sedang ramai belakangan ini menjadi refleksi agar kita dapat memberikan kritik yang santun, demi mencegah perpecahan dan terjerat delik hukum.
“Program kampanye literasi digital bisa dilakukan oleh berbagai pihak yang peduli terhadap iklim demokrasi yang sehat, terutama oleh instansi pemerintah, lembaga pendidikan, bahkan organisasi kemasyarakatan,” kata dia.
Deden mengatakan, meskipun negara menjadi kebebasan berpendapat yang terdapat dalam UUD Pasal 28 dan UU Pers No. 40 tahun 1999, namun kita harus mampu memilih dan memilah kata maupun kalimat yang akan disampaikan ke ranah publik.
Banyak masyarakat yang belum dapat membedakan antara kritik, nyinyir, hujatan dan ujaran kebencian yang rentan memecah belah masyarakat. Karena sejatinya, tidak ada kebebasan dalam menyebarkan kebencian, hasutan, fitnah atas nama demokrasi.
“Kedewasaan kita dalam berdemokrasi di ruang digital memang sangat diperlukan, apalagi di tahun tahun politik yang biasa terkesan sensitif,” ujar dia.
Tidak hanya itu, Deden menambahkan, perlu juga adanya kesadaran bagi para politikus dan kontestan pemilu untuk membangun Indonesia yang lebih baik dengan memaparkan visi misi yang orisinal, strategi yang baik, dan kampanye yang elegan guna menghasilkan pemimpin eksekutif dan legislatif yang berkualitas.
“Setiap kontestan di pemilu 2024 ini harus membangun political will yang baik yang membuat pesta demokrasi berjalan dengan lancar dan sukses tanpa adanya perpecahan di masyarakat,” katanya.