CIREBON – Dalam beberapa tahun terakhir, penyebaran paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Organisasi-organisasi seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) masih menjadi instrumen yang memicu perpecahan di kalangan generasi muda. Meskipun sudah dinyatakan ilegal oleh pemerintah, pengaruh mereka belum sepenuhnya sirna.
Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof. Didin Nurul Rosidin, mengatakan langkah pemerintah untuk melarang HTI dan FPI sudah tepat, namun penegakan hukum yang konsisten adalah kunci.
“Semua atribut dan kegiatan yang berhubungan dengan organisasi terlarang ini harus dilarang dan ditegakkan,” ujarnya di Cirebon, Selasa (12/11/2024).
Baca Juga: Penangkapan Mafia Judi Online: Keterlibatan Pegawai Komdigi Jadi Sorotan
Jika aparat penegak hukum tidak tegas, maka keputusan pemerintah tersebut akan terasa sia-sia. Misalnya, dalam kasus pembubaran acara yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok berhaluan radikal, penegakan hukum harus mampu membawa konsekuensi nyata. Ketidakkonsistenan dalam penegakan hukum akan menciptakan celah bagi penyebaran paham intoleran.
Satu aspek yang menurut Prof. Didin perlu dicermati adalah bahwa kejahatan ideologis, seperti radikalisasi, jauh lebih sulit dikenali dibandingkan dengan kejahatan yang lebih jelas, seperti judi atau pornografi.
“Penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk menyadari bahwa kejahatan bentuk ini tidak hanya terlihat di permukaan, tetapi juga menyebar melalui informasi dan media sosial,” kata dia.
Transformasi Pemikiran Radikal
Di era digital ini, radikalisasi terus bertransformasi. Misalnya, kelompok ekstremis kini menggunakan platform media sosial untuk menyebarkan propaganda. Keterbukaan informasi membuat anak muda lebih mudah terpapar, sehingga perlu ada strategi edukasi yang efektif.
Prof. Didin menekankan pentingnya edukasi sebagai langkah pencegahan. “Pemerintah perlu melakukan kontranarasi melalui edukasi,” ujarnya.
Mengajarkan nilai-nilai Pancasila dan keterikatan emosional terhadap Indonesia menjadi kunci untuk melawan paham radikal.
Beberapa program yang bisa diterapkan meliputi, kegiatan sosialisasi pancasila, dengan mengadakan seminar dan workshop di sekolah-sekolah untuk membahas pentingnya Pancasila sebagai ideologi negara.
Baca Lagi: Merayakan Hari Ayah Nasional: Menghargai Peran dan Pengorbanan Seorang Ayah
Kemudian, kampanye sosial, yakni memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi positif dan mengedukasi masyarakat tentang bahaya radikalisasi.
Kesadaran masyarakat juga sangat penting. Prof. Didin mencontohkan larangan dalam agama, seperti larangan mengonsumsi daging babi, yang sering kali tidak dipahami oleh masyarakat.
“Masyarakat perlu tahu mengapa hal-hal tertentu dilarang,” katanya.
Kegiatan seperti pelatihan, diskusi publik, dan penyebaran materi melalui platform digital sangat diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang bahaya radikalisasi.
7 komentar