SUKOHARJO – Polemik yang kerap timbul di masyarakat terkait ucapan hari besar keagamaan, bukanlah hal yang perlu diributkan. Umat dapat memilih pandangan maupun tafsir para ahli dalam sikap menyetujui, menolak, dan memaklumi. Karena hubungan yang saling menenggang sudah cukup menggembirakan bagi penganut agama untuk menikmati hari-hari besarnya, tanpa perlu meributkan hal yang sejatinya tidak perlu dibahas. Sehingga masyarakat hanya perlu membangun komunikasi yang baik sebagai cara merajut harmoni.
Demikian diungkapkan Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Muayyad Windan, Sukoharjo, Mohammad Dian Nafi, di Sukoharjo, Jumat (24/12/2021).
“Setiap warga dapat memilihnya. Yang menolak (ucapan selamat hari raya untuk agama lainnya) itu juga disasarkan pada penjelasan kitab tafsir. Yang memaklumi biasanya ditujukan kepada pejabat publik yang harus mengayomi semua warga masyarakatnya.” ujarnya.
Kiai Dian menjelaskan, setidaknya ada empat poin yang perlu ditanamkan untuk membangun toleransi antar umat yang dipraktekkan dan diimpelementasikan dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Pertama, memperdalam ilmu agama dari beragam sumber yang baik.
Kedua, mengambil teladan tokoh-tokoh muslim yang sukses mengembangkan persaudaraan kebangsaan. Ketiga, adalah dengan memperhatikan sejarah pasang surut bangsa-bangsa. Keempat, memulai dari simpul yang terjangkau dengan kegiatan yang mudah dilakukan dan pelajaran yang didapat diperkuat untuk kegiatan lanjutan.
Karena itu, penanaman moderasi beragama menjadi sangat berkaitan dengan kemaslahatan umat, dimaknai sebagai suatu keadaan yang menjadi tujuan manusia menjalani hidup.
Menurut dia, dalam ilmu ushul fiqh ada tiga tingkatan kemaslahatan dalam konteks bernegara. Pertama, Dharuriy (primer), menjaga kerukunan dan persatuan sesama warga bangsa.
“Hal ini mutlak dibutuhkan untuk menjaga keutuhan bangsa dan kesentosaan negara,” ujar dia.
Kedua adalah Hajiy, mengetahui dan menenggang sesuatu ajaran agama yang dianut oleh sesama warga bangsa yang berbeda agama. Hal itu akan memudahkan pergaulan kemasyarakatan dan mu’amalah sehari-hari, menjauhkan dari kerenggangan hubungan.
Ketiga, Tahsiniy, menyampaikan pujian kepada warga yang berbeda agama atas kebaikan yang ada pada mereka. “Semua itu mendukung kerukunan dan memudahkan hidup bermasyarakat secara damai,” katanya.
Masyarakat juga perlu memahami, dalam mengamalkan agama diperlukan sikap wasathiyyah yang merupakan sikap moderat yang memadukan antara ilmu dan tindakan sebagaimana ditandaskan oleh wahbah az-zuhaily.
“Kecakapan untuk memadukan ilmu dengan tindakan itulah yang memudahkan orang untuk bertindak secara terpelajar, tidak terburu-buru menjustifikasi benar salah orang lain. Wasathiyyah membutuhkan proses untuk menginternalisasinya, yaitu bermula dari memahami, mempertimbangkan dari segi pilihan sikap, dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari,” kata dia.
Ia mengajak para tokoh agama untuk selalu menanamkan moderasi beragama, sebagai upaya mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Pertama, meluaskan wawasan bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk mengemban sejumlah misi, yaitu beribadah, membangun kerukunan, dan memakmurkan kehidupan di bumi.
Kedua, membiasakan mewujudkan kepemimpinan yang adil, berpihak kepada kebenaran, keadilan, keluhuran, dan kerukunan untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama.
“Ketiga, dengan menguatkan cara hidup yang semakin dewasa dan cerdas yang mengutamakan kolaborasi kreatif daripada berpikir sekadar berkompetisi,” katanya.
Keempat, mengajarkan generasi muda untuk ikut mengapresiasi sejarah perjuangan bangsa, yaitu dengan mendidik sesuai potensi dan bakat.
“Kelima berdakwah dengan keteladanan,” ujarnya.