JAKARTA – Keberagaman menjadi ciri khas bangsa Indonesia dan diakui seluruh dunia. Dimana pluralisme telah membentuk kultur bangsa yang toleran dan mencintai sesama. Namun, saat ini kadang dijumpai praktik-praktik intoleransi yang mencoreng nilai luhur dan kearifan lokal budaya bangsa.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Pengurus Besar (PB Al-Washliyah), Mahmudi Affan Rangkuti, menyayangkan fenomena tersebut. Karena itu menurutnya, perlu ada penguatan nilai-nilai agama dan kebangsaan yang fundamental, khususnya dalam hal keberagaman melalui aspek pendidikan dan moderasi beragama agar diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan.
“Pendidikan dan melalui moderasi beragama adalah cara jitu untuk dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan kepada masyarakat, agar menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi,” ujarnya di Jakarta, Rabu (5/1/2022).
Ia menambahkan, moderasi beragama perlu menjadi mata ajar, baik disekolah ataupun perguruan tinggi. Sebab memiliki banyak manfaat sebagai pengungkit sifat dan naluri kemanusiaan, yang pada dasarnya diciptakan agar selalu mendambakan rasa cinta, kasih dan sayang.
“Ini perlu dilakukan secara berkesinambungan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi,” kata dia.
Maraknya kasus dan praktik intoleransi, lanjut dia, tidak lepas dari kurangnya rasa memahami arti nilai keluhuran atas rasa cinta dan kasih sayang. Padahal, manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna karena memiliki akal dan pikiran.
“Akal dan pikiran semua berbasis cinta, kasih dan sayang, maka perbuatan kepada manusia lainnya semestinya atas nama tersebut. Ini yang mesti ditanamkan agar pemahaman itu semakin kuat,” ujarnya.
Mahmudi menjelaskan, dari sudut pandang ajaran Islam, sejatinya toleransi adalah keniscayaan. Konsep rahmatal lil ‘alamin, memiliki arti agama yang mengayomi seluruh alam. Islam selalu menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati bukan memaksa.
“Keragamaan umat manusia dalam beragama adalah kehendak Allah SWT. Menolak keragaman, maka sama halnya menolak kehendak Allah SWT. Maka titik temu dalam keragaman adalah toleransi dalam bentuk moderasi atau menjadi titik tengah,” katanya.
Ia juga meminta peran tokoh agama, adat, dan masyarakat untuk bisa turut serta mendorong moderasi beragama kepada umat atau pengikutnya. Ia meyakini, pelibatan dan kesadaran para tokoh mampu mempengaruhi percepatan guna mewujudkan moderasi beragama secara menyeluruh disemua lapisan masyarakat.
“Saya pun yakin para pengikutnya dan simpatisannya juga akan melakukan hal yang sama seperti yang sudah dicontohkan para tokoh atau pemimpinnya,” ujar dia.
Ia juga optimis, di tahun 2022 bisa menjadi tahun toleransi dan moderasi beragama.