JAKARTA – Musyawarah mufakat merupakan sebuah teknologi yang sudah jarang digunakan, bahkan hampir dilupakan orang dalam berdemokrasi di Indonesia. Terbukti akhir-akhir ini suasana berbangsa dan bernegara sangat gaduh akibat ‘perang’ kritik, baik di media maupun media sosial.
Demikian dikatakan pengamat komunikasi politik, Hendri Satrio, di Jakarta, Rabu (17/2/2021).
“Kalau teknologi musyawarah dan mufakat ini terpelihara dengan baik, berbagai perbedaan pendapat yang ada di Indonesia, akan selesai dengan indah,” ujarnya.
Ia menambahkan, dalam berdemokrasi menyampaikan pendapat, maka Pancasila harus dijadikan dasar berkomunikasi. Sehingga selisih paham bisa diselesaikan dengan bermufakat dan bermusyawarah.
Selain itu, kritik juga harus disampaikan dengan baik. Bahkan jika perlu dapat menghindari kritik yang berbau SARA, terutama agama.
“Selalu junjung tinggi asas saling menghormati antar sesama dan kedepankan Persatuan Indonesia,”
Menurut dia, dalam berkomunikasi terutama memberikan kritik, semua pihak harus bisa menjaga emosi, agar pesan komunikasi dapat tersampaikan, sehingga tidak berimbas negatif di masyarakat.
Terkait riuh rendahnya kritik yang ditujukan ke pemerintah, Hendri berharap, pemerintah mempelajari bahasa rakyat dalam menyampaikan kritik.
“Kadang bahasa berbeda, kesantunan berbeda, dan etikanya berbeda antara rakyat dengan pemerintah,” kata dia.
“Pemerintah harus membuka ruang dialog kepada rakyat yang emosi dengan menyampaikan pendapat dengan kritik tajam,” Hendri menambahkan.
Disamping itu, pemerintah sebaiknya lebih banyak mendengarkan. Dengan begitu lebih mengerti kondisi masyarakat yang sebenarnya terjadi.
“Apapun hasilnya, apapun keadannya, pemerintah pasti lebih bijaksana dibandingkan rakyat. Oleh karena itu yang harus lebih banyak mengerti dan bersabar adalah pemerintah,” katanya.