JAKARTA – Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terancam bila radikalisme terus dipelihara. Padahal, rezim Presiden Soeharto sama sekali tidak memberi kesempatan berkembangmya radikalisme yang hendak merubah Indonesia menjadi negara agama.
Hal itu dikatakan akademisi Universitas Negeri Manado (UNM) Sulawesi Utara, Otto Cornelis Kaligis, di Jakarta, dikutip Antara, Selasa (21/2/2023).
Pengacara kondang ini mengatakan, saat itu dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dan pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Tujuannya adalah untuk mengamalkan dan menghidupkan kembali Pancasila keseluruh bangsa yang sempat terkontaminasi oleh paham radikal.
Namun pada era reformasi BP7 maupun P4 kelihatannya mulai diabaikan, guna memuluskan perjuangan kelompok radikalisme menuju pelaksanaan konsep khilafah yang mengancam kelangsungan NKRI.
Meski begitu, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dapat dijadikan bapak pluralisme dan haul peringatan hari wafatnya setiap tahun rutin digelar.
Guru Besar Fakultas Hukum UNM itu mengatakan, saat haul tersebut tidak hanya dihadiri Gusdurian, tapi juga dihadiri pejabat, ulama hingga politikus.
Putri kedua Gus Dur, Yenny Wahid pada November 2017 mengatakan bahwa aktualisasi ajaran Gus Dur memiliki arti sangat penting bagi Bangsa dan Negara.
Kaligis menambahkan, di tengah situasi kehidupan berbangsa yang terancam terpecah belah karena faktor suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) maka menguatnya sikap intoleransi dalam beragama, kebhinekaan sehingga NKRI mulai terusik akibat radikalisme, paham keagamaan, serta saling fitnah dan hujat berlatar perbedaan paham politik.
Namun awalnya benih radikalisme saat perkara pembakaran dan penyerangan Rumah Sakit Ketergantungan Obat Doulos pada akhir tahun 1999.
Kompleks Yayasan Doulos di bilangan Jakarta Timur yang menempati lahan seluas dua hektare pada 17 Desember 1999 dibakar dan diratakan dengan tanah oleh kelompok anarkis.
Akibat peristiwa itu seorang meninggal, 18 orang mengalami luka berat, 19 orang luka ringan dan puluhan lainnya mengalami trauma yang mendalam.
Ratusan penghuni yayasan dan pasien rehabilitasi korban narkoba di tempat itu kehilangan tempat tinggal karena gedung yayasan ludes dan kerugian saat itu diperkirakan Rp6 milyar.
Penyidikan terhadap pelaku, hanya dikenakan pasal 187, 170, 160 KUHP perihal pengrusakan harta benda, tapi pasal penganiayaan dan pembunuhan diabaikan.
“Bila hal serupa selalu terjadi, maka jangan heran kalau dengan gampang pelaku anarkis melakukan ulang perbuatan mereka karena hanya menerima hukuman beberapa bulan penjara,” katanya.