JAKARTA – Pancasila merupakan landasan Indonesia dalam menetapkan batas-batas konstitusinya. Pancasila menjadi perwujudan nilai dan ajaran seluruh agama yang secara resmi diakui di Bumi Pertiwi.
Tak berlebihan jika ada anggapan bahwa, bila bernegara dengan bingkai Pancasila, maka sesungguhnya sedang menegakkan peraturan agama karena Pancasila lahir dari ajaran agama itu sendiri.
Direktur Nasional GusDurian Network Indonesia (GNI), Alissa Wahid, mengungkapkan di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai kemanusiaan dan agama sebagai pedomannya. Agama Islam menempatkan manusia pada posisi khalifatul fil ardh atau menjadi pengelola bumi dan isinya.
“Baik dalam Islam atau agama-agama yang lain, selalu ada ajaran yang menuntun manusia agar menjadi pribadi yang adil dan santun, seperti yang tertuang pada Pancasila. Pribadi yang beradab atau santun, dan sebagai manusia dia tidak mengedepankan kekerasan dalam menghadapi persoalan, sejatinya ia telah mengikuti nilai-nilai yang ada dalam agama,” ujarnya di Jakarta, Kamis (30/11/2023).
Dirinya menjelaskan, sebetulnya Pancasila itu justru pengejawantahan dari nilai-nilai agama dan keluhuran bangsa Indonesia.
Walaupun terdapat perbedaan dalam pengamalan agama, Pancasila menjembatani itu semua. Mengamalkan Pancasila yang beberapa nilainya juga diambil dari ajaran agama Islam, tidak ubahnya mengamalkan ibadah itu sendiri.
Memang secara tekstual, lanjutnya, pengamalan Pancasila itu tidak dimuat dan diatur dalam dalil-dalil keagamaan. Namun dengan menjalankan agama secara baik maka juga menghidupkan nilai-nilai Pancasila dengan sempurna, begitu juga sebaliknya.
Ia menjelaskan, persatuan Indonesia yang diamanahkan oleh Pancasila juga bagian dari perintah semua agama, termasuk Islam.
Sebagai manusia yang dititipkan tanah air indonesia, menjadi kewajiban kita untuk menjaga dan memeliharanya.
“Persatuan Indonesia atau ukhuwah wathoniyah itu juga bagian dari perintah agama. Perintah agama itu mengharuskan kita untuk mencintai dan merawat tanah air dimana kita tinggal. Banyak agama menjelaskan bahwa manusia adalah perwakilan Tuhan di buka bumi,” kata dia.
“Kalau di dalam agama Kristen, itu ada istilah imago Dei yang berarti bahwa manusia adalah cerminan dari sosok Tuhan. Sementara dalam ajaran Islam, manusia ditempatkan sebagai khalifatul fil ardh atau sebagai pengelola bumi. Nilai persatuan Indonesia dalam Pancasila menjadi luas penafsirannya karena ia tidak hanya mengatur hubungan dengan alam, namun juga hubungan dengan sesama manusia,” lanjutnya.
Menurutnya, dengan menghayati nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila, harusnya seluruh masyarakat bisa menjaga persatuan dan kesatuan dengan sesama manusia.
Hal ini juga tidak berbeda dengan ajaran agama. Menjaga persatuan itu berarti mensyaratkan adanya sikap saling menerima dan menghormati. Inilah yang disebut sebagai toleransi.
Dalam ajaran agama Islam, jelasnya, bahkan pada saat membenci kepada kelompok lain, seseorang tidak boleh berlaku tidak adil kepada mereka.
Dengan berlaku intoleran, berarti mereka sebenarnya sedang melanggar perintah agama untuk berlaku santun dan beradab pada orang lain. Padahal, saat menjalankan Pancasila, secara otomatis pasti menjadi orang yang toleran.
“Sehingga tidak berlebihan rasanya jika ada anggapan bahwa dengan menjalankan Pancasila, itu sama dengan kita beribadah sesuai ajaran agama, karena ajaran agama dan Pancasila memiliki kaitan yang sangat erat,” kata Alissa.
Alissa menambahkan, untuk memelihara persatuan bangsa melalui Pancasila, agaknya perlu mewaspadai adanya framing berita atau informasi dengan tujuan tertentu.
Seringkali isu kemiskinan yang terjadi di Indonesia digunakan oleh kelompok intoleran untuk menggiring persepsi publik dan memperlihatkan kegagalan Pemerintah Indonesia.
Faktanya, tidak ada hubungannya antara kemiskinan dengan intoleransi. Pemahaman yang intoleran bisa dimunculkan dimanapun dan dengan siapapun, terlepas dari status ekonominya.
Isu kemiskinan sering juga dikaitkan dengan hutang negara misalnya, suka tidak suka adalah tanggung jawab bersama sebagai bangsa Indonesia.
Walaupun memang tidak dipungkiri bahwa penting untuk memilih pemimpin yang tepat, supaya Indonesia bisa mengurangi beban hutangnya.
“Ketika kita sudah memilih pemimpin dan perwakilan di eksekutif dan legislatif, kemudian mereka menghasilkan produk kebijakan, harus diakui bahwa itulah keputusan kita bersama. Menjadi kewajiban bersama sebagai bangsa untuk mengelola kondisi ini, dan ini bukan alasan untuk kemudian kita bersikap intoleran kepada siapapun. Intoleransi itu tidak ada hubungannya dengan kemiskinan,” ujar dia mengakhiri.