JAKARTA – Rencana Presiden Joko Widodo melibatkan TNI dalam pendisiplinan protokol kesehatan Covid-19 di titik-titik keramaian pada new normal mengingatkan kembali pada masa Orde Baru. Karena itu Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik kebijakan tersebut.
“YLBHI meminta pemerintah menghapus dan membatalkan kebijakan dengan pendekatan keamanan untuk menangani Covid-19 termasuk rencana pelibatan TNI dalam new normal,” ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI, M Isnur, di Jakarta, Selasa (2/6/2020).
Pemerintah menangani Covid-19 dengan berpedoman pada kebijakan kesehatan publik berbasis sains. Dalam hal ini, menurutnya, pelonggaran karantina kesehatan sebelum menuju new normal harus dilakukan berbasis data dan bukan sekadar keinginan.
Ia menambahkan, merujuk pada pernyataan resmi Direktur WHO Region Eropa, new normal memerlukan transisi dan perlu sejumlah langkah yang harus dilakukan, yakni bukti pengendalian penularan Covid-19, kapasitas layanan kesehatan yang memadai, meminimalkan wabah di tempat yang rentan seperti rumah lansia, penetapan langkah pencegahan di tempat kerja, hingga pelibatan masyarakat.
“Dari semuanya, tidak satu pun syarat tersebut memasukkan pendekatan keamanan,” ujar dia.
Selain itu, pelibatan TNI juga dinilai bertentangan dengan TAP MPR yang telah mengatur tentang pemisahan TNI dengan kepolisian.
Dimana dalam TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian menjelaskan, peran sosial politik dalam dwifungsi ABRI menyebabkan penyimpangan peran dan fungsi TNI dan Kepolisian. Akibatnya, sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat pun tidak muncul.
“Maka pengembalian peran TNI dalam kegiatan-kegiatan di ranah sipil bertentangan dengan reformasi dan TAP MPR tersebut,” ujar dia.
Menurutnya, pelibatan TNI dalam new normal juga menambah deretan sikap pemerintah yang menggunakan pendekatan keamanan. Sebelumnya Kapolri mengeluarkan surat telegram tentang efek jera pada orang yang dianggap menghina presiden dan hoaks terkait penanganan Covid-19. Namun, bagi Isnur, surat ini dijalankan secara diskriminatif dan menyasar orang-orang yang kritis kepada pemerintah.
“Misalnya seperti kriminalisasi peserta Aksi Kamisan di Malang, kriminalisasi Ravio Patra, dan terakhir kriminalisasi peserta aksi di Pekanbaru,” katanya.
Rencana penerapan tatanan hidup baru alias new normal telah diumumkan Presiden Joko Widodo sebelumnya. Karena itu, menurunkan ribuan personel TNI/Polri di 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota untuk lebih mendisiplinkan masyarakat.
Para personel TNI dapat mengingatkan jika ada warga yang tak patuh yakni dengan tak mengenakan masker, cuci tangan, dan jaga jarak.