JAKARTA – Konten negatif di media sosial (medsos) bukan satu-satunya penyebab orang tersebut terkena radikalisme. Hal lain juga bisa dipengaruhi oleh perasaan kesepian, keluarga yang tidak berfungsi, hingga tidak mendapatkan kasih sayang.
Demikian dikatakan Peneliti Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Riri Khariroh, pada kegiatan Halaqah Dakwah Siber, Cegah Teror bertajuk: Optimalisasi Islam Wasathiyah di Ruang Siber yang digelar di Aula Buya Hamka, Kantor MUI, Jakarta Pusat, Rabu (20/9/2023).
“Awal-awal pemicu online radikalisme tidak hanya denger langsung dari dai radikal,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Riri, hal-hal tersebut memiliki kaitan yang erat untuk masuk ke dalam pikiran seseorang sehingga menjadi radikal.
“Counter narasi sangat penting dan harus diperkuat. Arah dari kontra narasi sudah sebaiknya masuk ke level yang tinggi kepada kelompok yang rentan,” kata dia.
Menurut Riri, counter narasi negatif di media sosial juga sangat diperlukan untuk memperluas pemahaman Islam yang moderat.
“Webshite Islam moderat sudah mengalami kenaikan dan diaskes oleh masyarakat,” katanya.
Konten-konten di media sosial dapat menjadikan identititas dan karakter bagi konsumennya. Sehingga, bila situs-situs radikal yang banyak diakses, maka orang tersebut bisa saja menjadi radikal.
Apalagi, media sosial juga terdapat algoritma. Algoritma tersebut menyebabkan konten-konten yang dilihat akan terus bermunculan.
“Narasi negatif lebih menarik dibanding yang damai. Karena memunculkan ghirah yang luar biasa. Mereka pandai dan punya skil yang luar biasa,” jelasnya.
Oleh karena itu, untuk melawan narasi-narasi negatif tersebut sangat diperlukan terutama melalui peran strategis dai di media sosial. Sebab, dari hasil penelitian menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia sangat religius, bahkan mengalahkan negara-negara di Timur Tengah.
“Ini mengalahkan negara-negara Islam di Timur Tengah. Sehingga, peran dai sangat penting dalam mengkonstruksikan paham-paham moderat,” ujarnya.
Riri menambahkan, kelompok-kelompok yang sangat rentan terpapar yakni anak muda dan wanita. Karenanya menyarankan agar melawan narasi negatif tersebut dengan menggunakan mantan napi dan korban.
Mantan napi dan korban tersebut, ujarnya, digunakan untuk mengajak agar tidak terpapar radikalisme dengan menggunakan bahasa-bahasa yang dekat dan mudah diterima.