JAKARTA – Pemerintah resmi mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai pengganti nomenklatur Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Seperti respon terhadap RUU HIP, ragam pro-kontra juga berkembang atas RUU BPIP.
Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, mengkritik Jimly Ashiddiqie. Menurutnya, Jimly memiliki pendapat yang kontradiktif dengan pandangannya sendiri. Dimana sebelumnya sepakat dengan RUU tersebut, bahkan mengajukan usulan penambahan wewenang BPIP.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di Badan Legislasi DPR RI pada 11 Februari 2020, Jimly mengusulkan naiknya status BPIP menjadi Dewan Nasional Pembinaan Ideologi Pancasila (DN-PIP) yang memiliki kewenangan mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD kepada Mahkamah Konstitusi, dan peraturan perundang-undangan di bawah UU kepada Mahkamah Agung.
Dengan kewenangan ini, kedudukan DN-PIP memiliki constitutional importance yang setara dengan lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD 1945.
“DN-PIP menjadi penjaga gawang bagi sinkronisasi peraturan perundang-undangan guna menegakkan nilai-nilai Pancasila dalam tata hukum kita,” ujarnya di Jakarta, Minggu (19/7/2020).
Ia menambahkan, sejak awal Jimly sepakat dengan RUU penguatan BPIP tersebut, bahkan menambahkan wewenang konstitusional untuk melakukan evaluasi, sinkronisasi, dan harmonisasi produk perundang-undangan, agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Selain mengusulkan penambahan wewenang BPIP, lanjut Karyono, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu juga mengusulkan agar RUU tersebut dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan omnibus law, sehingga UU lain yang memiliki keterkaitan dengan materi kebijakan normatif dalam RUU BPIP bisa dievaluasi dan disinkronisasikan secara terpadu.
Oleh sebab itu, membingungkan jika saat ini Jimly berubah pendapat terkait urgensi payung hukum terhadap Badan Pembinaan Ideologi Pancasila tersebut.
Menaikkan legal standing BPIP dari Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 menjadi UU sangat wajar dan sudah dilakukan untuk lembaga pemerintah non-kementerian lain. Seperti Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika yang berpayung hukum UU No. 31 Tahun 2009, Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang berpayung hukum UU No. 8 Tahun 2008, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang berpayung hukum UU No. 5 Tahun 2018.
“Mengingat betapa pentingnya pembinaan ideologi Pancasila, maka sangat penting BPIP mendapatkan payung hukum selevel UU,” kata dia.
“Dengan berpayung hukum UU, program penguatan Pancasila tidak akan berganti atau bahkan hilang akibat pergantian rezim. Penguatan Pancasila sebagai dasar negara akhirnya tidak tergantung pada siapa yang sedang berkuasa, karena telah memiliki landasan hukum yang permanen, yakni UU,” Karyono menambahkan.
Sebelumnya, Jimly Ashiddiqie menyatakan, BPIP tidak memerlukan payung hukum setingkat Undang-Undang (UU). Sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku, landasan hukum BPIP saat ini yakni Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2018 tentang BPIP.
“Sebagai lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK), BPIP cukup diatur dengan Peraturan Presiden, tidak perlu UU,” katanya.