JAKARTA – Tertangkapnya DE sebagai pelaku sekaligus ideolog paham radikal memunculkan keheranan publik. Apalagi terungkap bahwa ia merupakan salah satu pekerja di sebuah BUMN. Mengamati jaringan sosial (social network) yang berada di sekitar DE menjadi menarik, karena menurut perkembangan kasus terakhir, DE justru dikenal ramah dan mudah bergaul dengan para tetangganya.
Founder dari Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, mengatakan perlu memahami bahwa jaringan sosial akan dapat mendefinisikan secara kuat afiliasi seseorang yang diduga terlibat kelompok teror.
Pada kasus DE, diketahui bahwa sejak tahun 2010 ia telah secara aktif mengikuti kajian William Maksum yang terafiliasi dengan jaringan ISIS.
“Memang jaringan sosial ini yang perlu kita pahami bersama. Lingkup pertemanan, keluarga, saudara, ataupun sekolah seringkali menjadi awal masuk ideologi radikal. Jadi permasalahan ideologi radikal ini tidak berdiri sendiri, dan jaringan sosial ini justru sangat berpengaruh terhadap penanaman ideologi tertentu,” ujarnya di Jakarta, Rabu (23/8/2023).
Dirinya mengungkapkan, ideologi yang telah tertanam akan bekerja dengan baik apabila seseorang sudah masuk ke jaringan tertentu. Seringkali alasan seorang individu bergabung dengan kelompok teror itu karena adanya hubungan kekeluargaan ataupun pertemanan yang sebelumnya sudah terbangun sejak lama. Pada kasus DE, selain karena adanya jaringan sosial yang kuat, ada keinginan dari DE untuk memperbaiki kehidupannya melalui kajian ilmu agama.
“Permasalahannya menjadi muncul ketika memiliki ketertarikan memperdalam ilmu agama, namun menimba ilmu pada guru dan jaringan yang salah. Di masa lalu, para ideolog kelompok teror dapat menggetarkan semangat jihad para muridnya dengan mengirim mereka ke wilayah-wilayah konflik dan memberi narasi penindasan umat Islam. Saat ini, cukup dengan mempertontonkan kekejian terhadap umat islam melalui video dan internet, kelompok teror dapat mencetak para mujahid baru yang dengan senang hati akan mati demi agenda radikalisme dan terorisme,” katanya.
Akademisi yang juga aktif sebagai pengamat terorisme ini pun menjelaskan bahwa jangan terpaku pada stereotip atau subjektivitas yang berlaku secara umum. Tersangka DE yang baru-baru ini ditangkap justru dikenal sebagai pribadi yang ramah terhadap tetangganya dan aktif terlibat di banyak kegiatan lingkungan rumahnya. Sebagai seorang pribadi, DE bahkan tidak cocok jika dipaksakan masuk pada stereotip pelaku teror yang dinilai cenderung tertutup dan penyendiri.
“Makanya kalau kita fokusnya ke stereotip, itu akan sering meleset dalam melakukan deteksi, karena memang tidak ada stereotip atau ciri-ciri teroris itu yang seperti apa. Hal yang bisa kita pahami dan telusuri itu harusnya berfokus pada proses bergabungnya orang, kemudian apa dampaknya ketika orang tersebut bergabung di suatu kelompok atau jaringan, itu yang paling penting,” kata dia.
Noor Huda melanjutkan, bahwa stereotip yang terbangun di persepsi publik seolah dengan sendirinya terbantahkan oleh beberapa fenomena yang ada. Misalnya, pada kasus tertangkapnya salah seorang anggota dari JI (Jamaah Islamiyah) di Semarang, ia bahkan menjadi Ketua RT di lingkungan tinggalnya.
Anggota JI yang tertangkap ini juga membantu masyarakat sekitar dengan secara sukarela mengajar dalam pengajian anak-anak di lingkungannya. Selain makin tidak cocoknya stereotip yang ada, kemampuan para anggota dari jaringan teror juga makin meningkat untuk semakin membaur dengan masyarakat.
“Seperti yang kita tahu, dalam kelompok JI ada istilah tamkin yang berarti tidak perlu melawan secara keras atau berusaha mengubah sistem negara, namun cukup dengan memberikan pengaruh ideologinya di tengah masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara saya dengan beberapa anggota JI, justru mereka malah menjadi tokoh masyarakat di lingkungan tinggalnya,” jelas Noor Huda.
Ia berpesan agar jangan melihat penyebab paham radikalisme dan terorisme bisa masuk pada individu tertentu hanya dari satu dimensi saja. Menyoroti ideologi para pelaku teror memang penting, namun itu tidak selalu jadi yang utama karena nyatanya banyak faktor yang mendorong orang untuk bergabung pada jaringan teror. Ada yang karena faktor ekonomi, kedekatan emosional, hingga keinginan untuk memperdalam ilmu agama bisa memicu seseorang melakukan aksi terorisme karena didukung oleh kekeliruan dalam mengambil guru.
“Kedepannya diharapkan masing-masing kita bisa lebih teliti dalam berguru untuk memperdalam agama. Jangan hanya mengambil keterangan dari satu guru saja dan harus curiga jika ada kajian-kajian yang isinya menyalahkan atau mengkafirkan orang yang berbeda dengannya, bahkan sampai ada narasi untuk melawan negara dengan pemerintahan yang sah,” Noor Huda mengakhiri.