JAKARTA – Penguatan nasionalisme dan wawasan kebangsaan harus terus dilakukan untuk mengikis maraknya adu domba dan hoaks, demi terciptanya kehidupan kebangsaan yang harmonis serta demokrasi santun di Indonesia. Bila nasionalisme dan wawasan kebangsaan bangsa Indonesia kembali seperti dulu, otomatis radikalisme berkonotasi negatif serta terorisme akan terkikis.
“ Ini yang terjadi sekarang. Radikalisme dalam perspektif negatif, sudah sering saya sampaikan saat menjabat sebagai kepala BNPT. Ada empat indikatornya yaitu intoleransi, anti Pancasila, anti NKRI, dan penyebaran paham takfiri (mengkafirkan orang),” ujar mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol (Purn) Suhardi Alius di Jakarta, Selasa (15/6/2021).
“Kalau masuk klasifikasi ini harus kita kikis, kita reduksi dan hilangkan. Mari kita sosialisasikan pada anak anak kita, khususnya generasi muda agar tidak mudah terpapar paham itu. Bagaimana kita kuatkan nasionalisme dan wawasan kebangsaan,” Suhardi menambahkan.
Implementasi penguatan nasionalisme dan wawasan kebangsaan, lanjut Suhardi bisa dilakukan dengan kembali mengadakan upacara bendara setiap hari Senin, juga menyanyikan lagu Indonesia Raya dan pembacaan Pancasila.
“Inilah salah satu yang membuat karakter bangsa dengan baik, kalau tidak dilakukan itu akan hilang,” kata dia.
Menurut dia, generasi muda saat ini banyak yang tidak hafal Pancasila, lagu Indonesia Raya. Hal itu tidak bisa disalahkan, karena kurikulum pembelajaran sudah seperti itu.
“Nah sekarang kita ubah kembali. Di mulai dari sekarang, sehingga kita bisa melihat hasilnya nanti 5-10 tahun mendatang,” katanya.
Ia menjelaskan, saat ini generasi muda menjadi sasaran empuk penyebaran paham-paham negatif tersebut, disamping masyarakat umum lainnya. Faktanya, media sosial dipenuhi berbagai macam hoaks dan adu domba. Ironisnya, kondisi ini dimanfaatkan kelompok radikal intoleran untuk memcah belah masyarakat.
Disamping itu, budaya saring sebelum sharing generasi muda dan masyarakat sangat rendah. Akibatnya meraka ‘menelan’ begitu saja berbagai informasi yang masuk karena tidak punya kemampuan memverifikasi dan memfilter pesan-pesan tersebut. Hal ini dipengaruhi salah satunya adalah tingkat pendidikan masyarakat.
“Kalau yang sudah berpendidikan cukup intelektual kan akan berpikir saat menerima informasi benar atau tidak, tetapi untuk golongan menengah kebawah termasuk yang tidak punya pemahaman itu, akan dianggap menjadi suatu kebenaran. Ini yang berbahaya, mereka bisa menyebarkan kembali informasi yang diterima yang padahal belum tentu kebenarannya, bisa saja itu berisikan hal terkait radikal terorisme. Ini yang harus kita jaga,” kata dia.
Ia menilai, saat ini sel-sel terorisme kembali muncul. Meskipun kelompok terorisme di Indonesia sudah dilarang, namun mereka ingin menunjukan eksistensinya. Oleh sebab itu kewaspadaan harus tetap dijaga.
“Mereka tidak terdata, tapi sekarang muatan-muatan baru muncul seperti yang di Makassar (bom katedral),” ujar dia.
Oleh sebab itu, BNPT dan seluruh stake holder harus terus melakukan penguatan dan sosialisasi nasionalisme, wawasan kebangsaan, moderasi beragama, dan berbagai hal untuk mencegah penyebaran radikalisme negatif dan terorisme.
“Semua kementerian, institusi negara, bidang pendidikan bisa memonitor dan memberikan masukan, dan bagaimana melaporkan hal hal yang tidak lazim yang ada di sekeliling untuk pencegahan. Mudah mudahan ini bisa kita antisipasi dengan baik,” katanya.