JAKARTA – Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) terkait keterlibatan TNI dalam menangani terorisme terus dikritisi. Karena itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta pemerintah agar merevisi rancangan tersebut, sebab bakal memberikan peran yang luas bagi TNI.
“Rancangan Perpres ini terlalu melampaui tugas pokok TNI, sehingga harus direvisi,” ujar Wakil Koordinator KontraS, Malik Ferry Kusuma, di Jakarta, Senin (8/6/2020).
Menurut Malik, Perpres pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme bertentangan dengan aturan hukum dan berimplikasi rusaknya sistem peradilan pidana di Indonesia, mengingat TNI tidak tunduk pada peradilan umum. Selain itu, mengkritisi rancangan perpres tersebut karena tidak mengatur kapan, dimana, dan dalam waktu apa serta kondisi seperti apa TNI dilibatkan dalam penanganan terorisme.
“Kalau melihat dari pengalaman, negara kita ini belum ada situasi yang mendesak melibatkan TNI dalam penanganan terorisme,” katanya.
Ada dua model pelibatan TNI, lanjut Malik, pertama militer penuh, seperti Amerika terhadap Afganistan dan Osama Bin Laden. Kedua, sifatnya perbantuan dan model ini dianggap paling tepat bagi Indonesia, perbantuan TNI terhadap Polri.
Oleh sebab itu, pihaknya menekankan tugas-tugas TNI sesuai tertuang dalam rancangan Perpres tersebut justru tumpang tindih dengan institusi lain, baik itu Polri maupun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Ia sepakat, terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan merupakan kejahatan luar biasa. Meski demikian, pola pendekatan dilakukan dalam penanganannya jangan sampai aparat negara menggunakan cara berimplikasi pada pelanggaran hukum, pelanggaran hak asasi manusia.
“Di sini poin penting kita untuk mengingatkan rancangan perpres ini tidak tepat. Itu merusak sektor reformasi keamanan, khususnya TNI,” kata dia.
Karenanya, meminta legislatif dan pemerintah merevisi Perpres tersebut pasal demi pasal yang kewenangan terlalu jauh melebihi tugas pokok TNI sebagaimana diatur dalam UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, salah satunya mengenai prosedur operasional pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.
“Waktunya belum tepat (perpres), dan, misal, ada situasi sangat mendesak lewat kebijakan politik, presiden bisa berkonsultasi dengan DPR, itu bisa dikerahkan TNI dalam penanganan terorisme. Masalahnya dalam perpres ini tidak ada lagi koordinasi, Panglima bisa mengerahkan pasukan. Kalau pun ada koordinasi hanya konsultasi dengan presiden,” kata Malik.