JAKARTA – Pada 21 Januari 2023, Lachlan Gibson mengalami kecelakaan di depan Polda Metro Jaya. Namun, ketika ia mencoba melaporkan insiden tersebut hampir dua bulan kemudian, ia dihadapkan pada penolakan dari pihak kepolisian.
Video emosional dari Lachlan yang mengungkapkan kekecewaannya viral di media sosial, memicu reaksi luas dari publik.
Direktur Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Metro Jaya, Kombes Pol Latif Usman, kemudian meminta maaf kepada Lachlan dan masyarakat terkait kejadian tersebut.
Diketahui, Lachlan yang merupakan warga asing di Indonesia, mengalami kecelakaan yang mengakibatkan cedera serius. Setelah perawatan di rumah sakit dan mengumpulkan keberanian, ia mendatangi kantor polisi untuk membuat laporan.
Namun, laporan tersebut ditolak dengan alasan bahwa rekaman dari kamera E-TLE di lokasi kejadian sudah tidak tersedia, karena diperbarui setiap enam jam.
Baca Juga: Ferry Irwandi Tantang Dukun: Perdebatan Santet yang Menghebohkan Media Sosial
Kombes Pol Latif Usman mengakui kesalahan tersebut, stating bahwa ada prosedur yang tidak diikuti dengan baik.
“Sekali lagi, ada prosedur yang salah di saya, saya akui,” ujarnya di Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Ia menyatakan pentingnya institusi kepolisian belajar dari insiden ini untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Fenomena “No Viral No Justice”
Kasus Lachlan ini semakin memperkuat stigma bahwa “no viral no justice” berlaku di masyarakat. Hal ini menggambarkan bagaimana aksi publik di media sosial dapat mendorong aparat penegak hukum untuk bertindak lebih cepat.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Muhammad Choirul Anam, menjelaskan bahwa fenomena ini mencerminkan pengawasan publik terhadap kepolisian.
“Ini bagian dari kontrol masyarakat, pengawasan yang memang dibutuhkan,” ungkap Anam.
Keterbukaan informasi dan kemudahan akses ke platform media sosial telah menciptakan tantangan baru bagi kepolisian.
Masyarakat kini lebih berani untuk bersuara dan mengungkapkan pengalaman mereka, baik positif maupun negatif. Hal ini menuntut kepolisian untuk beradaptasi dengan cara bekerja yang lebih profesional dan transparan.
Menurut Anam, tantangan ini dapat dijawab dengan meningkatkan kinerja dan transparansi kepolisian. Menekankan pentingnya profesionalisme dalam setiap tindakan yang diambil oleh polisi, agar kejadian serupa tidak terulang.
Meskipun insiden ini menyisakan banyak kritik, permintaan maaf yang disampaikan oleh Latif mendapat apresiasi.
Ia dianggap berani mengakui kesalahan dan melangkah untuk memperbaiki keadaan. Hal ini seharusnya menjadi contoh bagi institusi lain dalam mengakui kesalahan dan berdialog dengan masyarakat secara terbuka.
“Ini langkah yang baik, bisa dicontoh oleh polda-polda lain, sehingga kepolisian semakin profesional,” kata Anam.