JAKARTA – Kepolisian maupun pemerintah diminta untuk tidak lagi berpikir, bahwa kelompok-kelompok intoleran bisa digunakan untuk kepentingan tertentu, sebagai suatu kekuatan bargaining politik. Sebab, hal itu yang membuat kelompok intoleran kebal hukum.
Demikian dikatakan Dewan Penasihat Center for The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Irfan Abubakar, di Jakarta, Minggu (31/1/2021).
Irfan mengatakan, Polri maupun pemerintah agar tidak ‘main mata’ atau kompromi dengan kelompok-kelompok intoleran yang bisa memecah belah bangsa. Kelompok intoleran harus ditindak sesuai hukum di Tanah Air.
“Nyata-nyata melanggar hukum, itu enggak usah babibu lagi, udah lakukan penegakan hukum sesuai aturan. Jangan ada kompromi,” katanya.
Menurut dia, Kepolisian harus mengedepankan pencegahan. Korps Bhayangkara harus bisa membuka ruang komunikasi dengan sejumlah organisasi keagamaan, pemuda, dan berbagai organisasi lain, yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok intoleran dalam mobilisasi politik identitas.
Karena itu, dirinya sangat yakin Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo memiliki kemampuan tersebut. Hal itu terlihat ketika menjadi Kapolda Banten, dimana dapat menjalin komunikasi dengan sejumlah pesantren, ormas, dan kelompok pemuda di Banten.
“Jangan sampai mobilisasi politik identitas 2016 terjadi lagi, itu harus diantisipasi,” ujar dia.
Di sisi lain, kata dia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) maupun Densus 88 memiliki peran mengantisipasi potensi radikalisme dari luar negeri. Kedua institusi itu harus bisa melakukan deteksi dini terhadap jaringan terorisme atau ekstrimisme di luar negeri untuk mencegah gerakan itu tumbuh di Indonesia.
“Terorisme atau ekstremisme hubungannya dengan pecaturan politik global. Ada deteksi dini kemungkinan jaringan itu masuk. Pendekatan ke ormas Islam, kemudian pemuda muslim harus terus dijalankan, jangan cuma sebentar, itu harus menjadi sistem, karena mereka ini bisa bersama sama dengan Polri,” katanya.