JAKARTA – Sikap dingin Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto atas klaim Cina terhadap wilayah perairan Natuna, Kepulauan Riau, membuat Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menyayangkan hal tersebut.
Sebelumnya, Prabowo berpendapat, masalah Natuna-Laut China Selatan harus diselesaikan lewat pembicaraan dua belah pihak. Sehingga tak mengganggu hubungan perdagangan dan diplomatik antarnegara, termasuk dengan negara ASEAN lain.
Menurut Hikmahanto, masalah Natuna Utara tak seharusnya diselesaikan di meja perundingan, mengingat Tiongkok tidak mengakui wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Sementara Indonesia tidak mengakui klaim Traditional Fishing Right Cina.
Karena itu sebagai bagian dari pemerintah, Prabowo harusnya satu suara dengan apa yang disampaikan Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno Marsudi. Dimana langkah nyata perlu dilakukan Pemerintah, yakni dengan meningkatkan patroli di laut Natuna.
“Pernyataan ini, patut disayangkan,” katanya di Jakarta, Sabtu (4/1/2020).
Peningkatan patroli, lanjut Hikmahanto, dilakukan agar nelayan-nelayan Indonesia saat melakukan aktifitasnya tidak mendapat gangguan dari kapal-kapal Coast Guard China.
“Selain itu juga melakukan penegakan hukum bila ada nelayan asing, termasuk asal Cina, yang melakukan penagkapan ikan secara ilegal,” kata dia.
Hikmahanto menegaskan, wilayah laut yang diklaim Indonesia adalah wilayah hak berdaulat (sovereign right), bukan wilayah kedaulatan (sovereignty) Indonesia. Karena itu, otoritas yang wajib dikerahkan adalah penegakan hukum, dalam hal itu TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Sebelumnya, Staf Khusus Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan sikap sang menteri terhadap masalah di perairan Natuna, sejalan dengan nota protes yang dikirim Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi ke Duta Besar (Dubes) Cina untuk Indonesia.
Menurut Dahnil, Prabowo lebih memilih masalah Natuna-Laut China Selatan diselesaikan lewat diplomasi, agar tidak mengganggu hubungan perdagangan dan diplomatik antarnegara.
Diketahui, juru bicara Kemlu Cina, Geng Shuang, mengaku telah menyampaikan tanggapan atas dipanggilnya Dubes RRC oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, juga atas nota keberatan RI ke Cina soal sengketa di Natuna.
Menurut Shuang, perairan di sekitar Kepulauan Nansha (Spratly Islands) masih menjadi milik Cina. Dubesnya di Jakarta juga menegaskan hal tersebut ke Kemlu RI.
Mengenai hal itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menegaskan Cina tak berhak mengklaim perairan Natuna sebagai wilayahnya, sebab Indonesia tidak memiliki konflik perairan.
“Kalau secara hukum Cina tidak punya hak untuk mengklaim. Karena Indonesia tidak punya konflik perairan, tumpang tindih perairan Indonesia tidak punya,” ujarnya.
Untuk memastikan tak ada penyusupan kapal-kapal Tiongkok di perairan Indonesia, sejumlah upaya terus dilakukan. “Menlu (Retno Marsudi) sudah memanggil (perwakilan Cina di Indonesia) dan terus nanti akan melakukan konsultasi-konsultasi lanjutan,” katanya.
“Saya kira itu yang penting kita punya kedaulatan dan hak berdaulat juga yang harus kita jaga,” Mahfud melanjutkan.
Mengenai Natuna, lanjut Mahfud, berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, Cina tak memiliki hak atas wilayah Natuna yang masih menjadi bagian Indonesia.
“South China Sea tribunal itu keputusannya, Cina tidak punya hak atas itu, semua sudah selesai. Konfliknya bukan dengan Indonesia, (tapi) dengan negara Asia Tenggara yang lain, itu tadi yang sudah diputus,” kata dia.
Senada dengan itu, Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, mengatakan wilayah ZEE Indonesia telah ditetapkan oleh hukum internasional melalui dasar Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), dimana Cina merupakan salah satu party dari UNCLOS 1982 tersebut.
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban Tiongkok untuk menghormati keputusan hukum internasional. Bahkan Indonesia tak akan pernah mengakui nine dash (sembilan garis putus) merupakan garis yang digambar oleh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok mengenai klaim wilayahnya di Laut Cina Selatan, meliputi Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly yang dipersengketakan dengan Filipina, Cina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam
“Itu merupakan kewajiban Tiongkok untuk menghormati implementasi dari UNCLOS 1982. Klaim sepihak yang dilakukan Tiongkok, tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional terutama UNCLOS 1982,” katanya. [Fan]