Psikolog: Seseorang Berpaham Kekerasan, Sebenarnya Melanggar Empat Pilar Kebangsaan

Nasional701 Dilihat

JAKARTA – Seseorang yang jalan pikirannya sudah didominasi oleh paham kekerasan, akan menolak penyelesaian masalah atau pencapaian tujuan dengan cara yang toleran. 

Demikian dikatakan Psikolog yang juga aktif sebagai akademisi, Tika Bisono, di Jakarta, Jumat (6/10/2023).

“Ketika ia menemukan hambatan dalam proses yang ia jalani, ia akan memaksa pihak lain untuk setuju dengannya. Mereka yang agresif akan menganggap bahwa sifat toleransi itu menunjukkan kelemahan pemiliknya,” ujarnya.

Ia menjelaskan, penelitian terkait kekerasan yang dilakukan anak-anak sudah banyak. Dimana hasil penelitian, ada korelasi antara pelaku kekerasan yang telah dewasa dengan miskinnya pemahaman toleransi yang ditanamkan ketika ia masih anak-anak. 

Di usia dini, lanjut Tika, sangat mudah memupuk berbagai pemahaman terhadap anak, tak terkecuali paham kekerasan. 

Ia menjelaskan, latar belakang paham kekerasan adalah sifat agresif yang sarat pemaksaan. Sifat agresif, koersif, intimidatif, pemaksaan, merupakan elemen-elemen yang ada di violence atau tindak kekerasan. 

“Jika dipupuk atau diberi ruang, maka yang akan terjadi adalah distorsi pemahaman, bahwa kekerasan itu adalah cara satu-satunya untuk mendapatkan hal yang diinginkan,” katanya.

Menurut Tika, sebenarnya, toleransi itu membuat posisi seseorang setara dengan orang lain. Orang yang agresif akan melihat bahwa untuk mendapatkan kendali, ia tidak boleh setara dengan sesamanya. 

“Posisi orang yang mengendalikan ada di atas yang dikendalikan. Tentunya sangat berbahaya jika realitanya saat ini sudah banyak lembaga pendidikan anak di Indonesia yang justru menanamkan prinsip kekerasan dan intoleransi sedari dini,” terang Tika.

Dirinya mengatakan, mereka yang berpaham kekerasan sebenarnya sudah melanggar empat pilar kebangsaan, yaitu UUD 45, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. 

Kalau sudah seperti itu, maka tidak ada tempat di Indonesia. Namun, penegakan empat pilar kebangsaan ini juga harus didukung oleh Pemerintah.

“Jika ada yang bisa diapresiasi pada masa pemerintahan Orde Baru, maka kita akan tertuju pada penekanan rasa nasionalisme yang sangat baik. Di zaman itu, pernah ada Undang-Undang Subversif yang membatasi ruang gerak kaum radikal. Ketegasan Pemerintah kala itu dalam menjaga keutuhan NKRI perlu diacungi jempol, walaupun tetap ada hal yang harus dikritisi,” kata Tika.

Sebenarnya, tambah Tika, sudah ada puluhan sekolah yang ia temukan mengajarkan paham intoleransi dan kekerasan. 

Tika pun menambahkan, Pemerintah perlu melihat langsung ke sekolah-sekolah ini untuk menemukan adanya pelanggaran kurikulum pendidikan yang berlangsung.

“Hal yang kami khawatirkan adalah beberapa sekolah ini sudah tidak menjadikan Pancasila sebagai landasan bernegaranya. Bahkan dari lembaga pendidikan ini ada yang sudah mulai mengajarkan teknik bersenjata dan berperang pada anak didiknya,” ujar dia. 

“Materi pelajaran agama yang berisi kisah para nabi justru tidak diambil sifat-sifat teladan mereka, namun dibelokkan untuk membakar semangat berperang,” lanjutnya.

Tika pun menambahkan, jika kita berkaca pada negara-negara maju, sebenarnya cara Indonesia menanamkan rasa nasionalisme pada generasi muda masih kurang baik. Sebagai contoh, sebelum pelajaran sekolah dimulai, siswa Amerika Serikat mengucapkan sumpah setia (pledge) terhadap negaranya.

“Tiap ingin memulai kegiatan belajar, para siswa di Amerika selalu mengucapkan ‘I pledge allegiance to the flag of the United States of America and to the Republic for which it stands under God indivisible with liberty and justice for all.’ Hampir semua siswa disana, baik yang pribumi maupun pendatang, itu bisa hafal kalimat sumpahnya diluar kepala. Penanaman nasionalisme seperti ini yang saya rasa belum dimiliki oleh sistem pendidikan di Indonesia,” jelas Tika.

Ia berharap, semua orang tua di Indonesia bisa menanamkan rasa nasionalisme dan toleransi yang tinggi kepada anak-anaknya. Semangat kebhinekaan nyatanya hanya ditemukan di Indonesia, bahkan beberapa negara lain justru iri melihat Indonesia yang warganya bisa membaur antar etnis.

“Seperti di Singapura dan Malaysia saja, itu sangat susah sekali menyatukan etnis India, Tiongkok, dan Melayu. Mereka tidak punya nilai kebangsaan yang bisa mempersatukan perbedaan etnisnya. Mereka pun iri melihat Indonesia yang walaupun terdiri dari banyak etnis dan suku bisa sepakat untuk bersatu dan menggunakan bahasa yang sama, bahasa Indonesia. Ini jelas tidak akan kita temukan dimanapun kecuali hanya di Indonesia,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *