JAKARTA – Selama ini Indonesia dengan ideologi Pancasila yang oleh kelompok neo-Khawarij dianggap kurang syar’i atau bahkan kafir dan thagut.
Padahal sejatinya Pancasila adalah tiruan dari pembentukan negara Madinah yang dibangun Rasulullah. Pancasila dibangun berdasarkan ruh agama yang berdasarkan hukum Allah tertera dalam Al-Quran.
Sekertaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI), M. Najih Arromadloni, mengatakan guna meruntuhkan bangunan logika yang dibangun dari sisa fosil pemikiran Khawarij. Dibutuhkan upaya revitalisasi kembali pendidikan tentang Pancasila.
“Kita perlu merevitalisasi kembali Pendidikan tentang Pancasila, kesadaran tentang kebhinekaan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (23/8).
“Karena sebetulnya kalau kita berpegang teguh pada nilai-nilai itu yang tentu sudah sejalan dengan nilai-nilai agama,” lanjutnya.
Baca Lagi: Bentengi Para Guru dari Radikalisme-Terorisme, Lihat yang Dilakukan Kepala BNPT
Dengan upaya revitalisasi pendidikan Pancasila, menurutnya dapat meneguhkan nilai-nilai Pancasila di masyarakat, yang akan membawa bangsa merdeka dari virus intoleransi dan radikalisme.
“Sebetulnya pada momentum itulah kita baru bisa merdeka dari virus intoleransi dan radikalisme,” kata dia.
Ia berharap, kedepannya tidak lagi muncul narasi konfrontasi antara agama dengan Pancasila maupun Nasionalisme. Dimana menyebut Indonesia sebagai negara thagut dan mengharamkan semangat nasionalsme serta cinta tanah air.
“Bangsa in harus merdeka dari narasi radikal anti-Pancasila, merdeka dari intoleransi dan radikalisme,” ujar dia.
Edukasi Nilai Pancasila, Lindungi Diri dari Radikalisme
Edukasi dan moderasi menjadi hal pokok yang penting, dibutuhkan untuk menciptakan manusia Indonesia yang tangguh dan merdeka dari intoleransi serta radikalisme, sebagaimana tujuan bangsa salah satunya yaitu mencerdaskan kehidupan.
Karena itu, harus ada semacam reformasi kultural, bertujuan untuk menanamkan dan mengedukasikan nilai-nilai luhur bangsa, agar bisa terlindungi dari virus intoleransi dan radikalisme.
Ia memandang perlu adanya ketegasan pemerintah pasca 77 tahun kemerdekaan dengan berkomitmen terhadap penanganan intoleransi dan radikalisme.
Disamping itu menghentikan pragmatisme politik terdahulu yang terkesan memfasilitasi maupun melakukan kompromi terhadap aksi intoleransi dan radikalisme.
Pemerintah perlu bersikap tegas, kata Najih, sebagaimana yang di sampaikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), bahwa negara membutuhkan sebuah regulasi sebagai pijakan yang kuat, yang bisa digunakan melakukan langkah-langkah pencegahan secara lebih tegas, terhadap persoalan intoleransi dan radikalisme.
Pasalnya, virus intoleransi dan radikalisme yang menyebar ke masyarakat, belum ada jangkauan undang-undang.
Hal ini semakin membuat miris, ketika keberadaan kelompok Salafi Wahabi yang melarang menyanyikan lagu Indonesia Raya, hormat kepada bendera Merah Putih, bahkan menganggap bahwa perayaan hari kemerdekaan adalah suatu bid’ah yang mungkar.
“Tentunya narasi seperti ini harus kita lawan, karena kalau dibiarkan, maka akan mendegradasi nasionalisme masyarakat kita. Ketika masyarakat kita sudah tidak punya Patriotisme, maka itu berarti adalah alarm kehancuran,” katanya.