JAKARTA – Pada dasarnya, peran dan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam mengatasi terorisme di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dimana salah satu tugas pokok TNI selain perang adalah mengatasi aksi terorisme.
Demikian disampaikan Kepala Staf Umum (Kasum) TNI, Letjen TNI Joni Supriyanto saat mendampingi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia (Menkopolhukam RI), Mahmud MD saat berkunjung ke Prajurit Korps Baret Merah di Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, Rabu (8/7/2020).
Joni Supriyanto mengatakan, Presiden Joko Widodo juga telah menyatakan bahwa perlu ada payung hukum yang kuat guna memberantas terorisme langsung ke akarnya. Karena itu, pentingnya memberikan kewenangan kepada TNI dalam mengatasi aksi terorisme.
“Aksi-aksi terorisme sepatutnya dipandang tidak hanya sebagai sebuah kejahatan, namun harus dilihat sebagai sebuah ancaman terhadap kepentingan nasional, sehingga optimalisasi peran TNI dalam pemberantasan aksi terorisme adalah hal yang mutlak,” ujarnya.
Mutlaknya pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme, lanjut Joni, tidak hanya mengacu pada Undang-Undang yang ada, namun lebih dari itu, kemampuan dan kekuatan TNI menjadi alasan utama dalam pelibatannya.
Daya hancur, mobilitas taktis, kualifikasi tempur dan kemampuan intelijen adalah faktor krusial yang telah dimiliki dan selalu diasah oleh satuan-satuan khusus TNI yakni Satuan Penanggulangan Teror 81 Kopassus, Detasemen Jala Mangkara TNI AL, dan Satuan Bravo 90 Korpaskhas.
Menurut Joni, terorisme merupakan bentuk ancaman nyata yang mengganggu stabilitas keamanan nasional. Dalam perkembangannya, paradigma arti terorisme mengalami perluasan dimana tidak hanya sebagai crime against state (kejahatan terhadap negara) tetapi juga crime against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan).
Oleh sebab itu, upaya penanggulangan terorisme perlu dilakukan secara komprehensif dan melibatkan banyak lembaga salah satunya adalah TNI. Apalagi pelibatan TNI dalam kontra terorisme telah dilakukan Pemerintah sejak masa awal kemerdekaan yang dilancarkan oleh kelompok pemberontak.
“Contoh nyata lainnya adalah operasi pembebasan Woyla oleh Kopassandha di tahun 1981 dan operasi pembebasan MV Sinar Kudus di tahun 2011,” kata Joni.