JAKARTA – Peneliti senior Wahid Foundation, Alamsyah M. Djafar, mengatakan dalam menyemarakkan semangat toleransi dan anti radikalisme di tahun 2020, seharusnya di prioritaskan pada kelompok yang rentan terpapar intoleransi, sehingga tak terjerumus lebih jauh.
“Jadi kalau kaitannya dengan toleransi dan intoleransi harus ada prioritas yang menyasar kelompok-kelompok yang rentan terpapar intoleransi,” ujarnya di Jakarta, Rabu (8/1/2020).
Selain itu, menyampaikan narasi alternatif tentang toleransi, perdamaian, dan anti radikalisme ke kalangan masyarakat, juga sangat penting demi memperkuat persaudaraan antarsesama warga bangsa.
“Tinggal selanjutnya menentukan siapa mereka dan bagaimana media yang tepat untuk menyasar kelompok-kelompok yang rentan ini,” katanya.
Ia mencontohkan, kelompok ormas yang menggunakan cara-cara kekerasan, maka dapat disampaikan narasi alternatif tersebut, oleh para mantan pelaku yang sudah tidak lagi tergabung dengan kelompok ‘keras’ tersebut.
Untuk menyampaikan narasi toleransi, perdamaian, dan anti radikalisme juga bisa dilakukan para tokoh bangsa, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lainnya. Apalagi bila para tokoh tersebut memiliki media sosial (medsos), dan sering memberikan pencerahan kepada masyarakat untuk mengajak bertoleransi.
“Jadi masyarakat bisa mendapatkan narasi toleransi dan perdamaian dari tokoh-tokoh panutannya,” kata dia.
“Jika tidak dapat bertemu dari tokoh tersebut, saya kira bisa melalui media sosial yang mana mereka bisa langsung mengaksesnya,” Djafar menambahkan.
Pemerintah juga memiliki peran penting mengajak masyarakat bersama-sama secara terus menerus menggelorakan semangat toleransi dan anti radikalisme.
“Kalau dari segi kampanye, itu saya kira perlu peran pemerintah dan itu bisanya terus dilakukan,” ujarnya.
Meski begitu, pada segi efektifitas ataupun dampak, pemerintah harus mulai berpikir mengenai tindakan-tindakan mengurangi praktek-praktek diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
“Selain itu pemerintah juga mengurangi peraturan-peraturan yang diskriminatif, kebijakan atau penyataan diskriminatif. Dampaknya akan lebih produktif,” katanya.
Kemudian, lembaga pendidikan juga berperan penting memperkuat toleransi. Djafar mengaku selama ini pihaknya bersama dengan sekolah-sekolah negeri telah mengembangkan Sekolah Damai sebagai upaya mendukung penguatan toleransi di sekolah.
Dalam Sekolah Damai, kata Djafar, memiliku indikator di antaranya, apakah sekolah tersebut telah mengeluarkan kebijakan yang mendukung penguatan toleransi di sekolah dan apakah ada prakteknya.
“Bukan hanya deklarasi ataupun kampanye saja. Nah kalau gerakan ini dilakukan sangat massif oleh sekolah-sekolah, tentunya akan lebih baik dalam membangun semangat toleransi,” kata dia.