Siti Musdah Mulia: Jilbab Soal Keyakinan, Tidak Bisa Melarang atau Memaksa

Nasional21 Dilihat

JAKARTA  – Kasus pemaksaan penggunaan jilbab yang terjadi beberapa waktu lalu, membuat sejumlah pemerhati angkat bicara.  Sebab hal itu berkaitan dengan intoleransi, pemaksaan, diskriminasi, dan persoalan lainnya seputar politik identitas yang segregatif.

Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Siti Musdah Mulia, menuturkan keprihatinannya atas insiden tersebut. Mengingat hal itu terkait budaya dan agama.

“Ini persoalan agama, persoalan budaya, sehingga tidak bisa cepat mengatasi ini. Terlebih jilbab ini adalah soal keyakinan, jadi kita tidak bisa melarang,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (6/8).

Pemerintah dengan segala sumber dayanya, kata Musdah, harus mampu menangani masalah tersebut dengan menanamkan nilai Bhinneka Tunggal Ika.

Baca Lagi: Wakil Walikota Tarakan: ASIK BANG, Gaya Baru BNPT Cegah Radikalisme

Disamping itu, memberi pengertian bahwa tidak ada benturan antara agama dengan Pancasila, sebagai hasil pemikiran para founding fathers bangsa.

“Para fouding fathers kita sudah sepakat memiih demokrasi bukan teokrasi, demokrasi itu adalah sebuah sistem dimana seorang mau menerima dan melihat orang yang berbeda, sehingga tidak boleh ada pemaksaan. Paling tidak pemerintah harus berusaha menunjukkan keseriusannya,” kata dia.

Upaya pencegahan intoleransi di dunia pendidikan, harus menjadi tanggung jawab semua pihak, untuk memastikan bahwa agama yang beredar di masyarakat merupakan agama yang inklusif, toleran, dan sesuai dengan Pancasila.

Menurut dia, insiden jilbab di salah satu SMA Negeri itu, sebagai sebuah praktik intoleransi yang cukup kontradiktif dengan visi misi dan jargon Kementeraian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang mengusung ‘Merdeka Belajar’. 

Sudah seharusnya sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi siswa, untuk mengembangkan diri dan memahami nilai-nilai kewarganegaraan yang sesuai dengan semangat Pancasila.

“Katanya ‘Merdeka Belajar’, tapi siswa tidak boleh punya pilihan. Sekolah harusnya mengajarkan saling menghargai, ajari sikap, dan karakter. Mau pakai jilbab itu baik, tidak pakai juga tidak apa-apa, tidak boleh menghakimi mereka yang berbeda,” katanya.

Dalam praktiknya, masih sering ditemukan oknum yang justru secara tidak sadar menghancurkan nilai toleransi berkedok himbauan. 

“Kadang oknum menjustifikasi bahwa berjilbab adalah himbauan, tapi di lapangan dalam prakteknya ada sikap tidak menyenangkan, memberi penilaian jelek pada seseorang yang tidak berjilbab, serta pelabelan lain. Itukan pandangan yang salah dan berbahaya. Karena dalam beragama tujuannya adalah tentang keluhuran budi,” ujar dia.

Dirinya menilai, pentingnya peran dan kompetensi guru untuk lebih didorong terkait kompetensi keberagamaannya. Bagaimana pemerintah maupun dinas pendidikan mampu menyusun indikator keberhasilan pendidikan, yang menekankan pada karakter luhur dan budi pekerti siswa baik dalam hal agama maupun bernegara.

Sayangnya, yang menakutkan adalah di tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)  justru sudah mengajarkan segregasi, permusuhan, dan kebencian terhadap yang berbeda. 

Parahnya hal itu tumbuh di lingkungan keluarganya yang sayangnya tidak mengerti agama. Oleh karenanya, Musdah, mewanti-wanti agar semua pihak tidak salah arah.

“Masalah ini tidak bisa kita lepaskan begitu saja sebagai tanggung jawab negara. Masyarakat sipil harus diperkuat literasinya, sehingga terdorong pula tanggung jawabnya,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar