JAKARTA – Pembentukan Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terhadap kasus PT Asuransi Jiwasraya, memunculkan pembicaraan ‘miring’ terhadap perkara itu. Sebab, pada periode-periode sebelumnya, legislatif kerap membentuk Panitia Khusus (Pansus) menanggapi kasus-kasus yang tak kalah besar dari Jiwasraya, seperti Century dan Pelindo.
“DPR yang diperiode sebelumnya nampak sangat galak di hadapan pemerintah kini terlihat seperti tak bertaring lagi,” ujar Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, di Jakarta, Rabu (22/1/2020).
“Keberanian yang diperiode lalu masih bisa diperlihatkan DPR seperti dalam membentuk Pansus Pelindo, walaupun berakhir tak jelas, tetapi minimal masih memperlihatkan kepada publik bahwa peran pengawasan atau kontrolk DPR masih tetap ada,” Lucius menambahkan.
Menurut Lucius, jika yang dibentuk adalah Pansus, maka ruang DPR RI untuk melakukan pembongkaran terhadap kasus Jiwasraya bakal lebih terbuka. Sebab, berdasarkan Pasal 201 UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014 dan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, Pansus bisa memanggil siapa saja baik di pemerintah maupun swasta yang diduga memiliki informasi terkait.
“Panja hanya dekorasi DPR saja, biar terlihat responsif walau kita tahu tak ada harapan besar dengan model pengawasan minimal untuk kasus besar seperti Jiwasraya ini,” katanya.
Ia menilai, dari kondisi politik seperti ini, membuat posisi DPR kalah dengan eksekutif, kemudian pihak eksekutif bisa leluasa dan sesuka hati bertindak.
“Check and balances tidak berjalan dengan semestinya. Ini bukan ciri DPR pasca-reformasi seperti yang sudah-sudah,” kata dia.
Menurut Lucius, pendatang baru di DPR RI dengan diisi pada milenial tidak sebanding dengan semangat progresif yang muncul ke permukaan. Malah justru kesan lesu darah DPR di hadapan pemerintah.
“DPR sudah sangat jinak. Jinaknya DPR sesungguhnya dampak dari kuatnya konsolidasi koalisi pendukung pemerintah di parlemen,” kata Lucius.
Diketahui, Kejaksaan Agung telah menahan sebanyak lima orang terduga korupsi Jiwasraya, di antaranya Direktur Utama PT Hanson International Tbk, Benny Tjokrosaputro; mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya, Harry Prasetyod; mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya, Hendrisman Rahim; Komisaris Utama PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat; dan pensiunan PT Asuransi Jiwasraya (Persero), Syahmirwan.
Berdasarkan hasil temuan awal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jumlah kerugian negara diperkirakan mencapai Rp10,4 triliun. Karena itu sejak kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bergejolak, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengklaim tengah melakukan upaya mencari solusi. Bahkan rencana pembentukan panitia khusus (Pansus) yang berasal dari DPR RI tak dipedulikannya.
“Kita fokus ke solusi atas perintah Pak (Presiden) Jokowi,” ujar Staf Khusus (Stafsus) Menteri BUMN, Arya Sinulingga, di Jakarta, Minggu (18/1/2020).
Salah satu solusi yang dilakukan pihak BUMN, lanjut Arya, yakni mengembalikan uang pada nasabah. “Sebesar apa pun problem kalau dikerjakan, itu yang dibutuhkan nasabah. Nasabah maunya uangnya kembali,” kata dia.