JAKARTA – Pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Boy Rafli Amar menyebutkan ada 198 Pondok Pesantren (Ponpes) terindikasi terafiliasi dengan jaringan terorisme, membuat sebagian pihak menanggapi dengan reaksi beragam.
Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid, mengatakan pernyataan Kepala BNPT dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI pada Selasa (25/1) lalu, harusnya dilihat sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja sebuah institusi pencegahan radikal terorisme di depan anggota dewan.
“(Jangan) langsung mengeneralisasi seolah BNPT anti-Pesantren, bahkan ada pula yang menuduh itu narasi islamofobia,” ujarnya di Jakarta, Minggu (30/1).
Oleh karena itu, pernyataan tersebut perlu dijernihkan, agar masyarakat tidak terbawa narasi yang selalu memframing berbagai kebijakan untuk meningkatkan deteksi dini dan kewaspadaan dalam pengertian yang negatif.
Data yang disampaikan Kepala BNPT, merupakan hasil kerja pemetaan dan monitoring dalam rangka pencegahan radikal terorisme. Hal itu untuk memberikan warning dan meningkatkan kewaspadaan bagi semua stakeholder.
Apalagi sebagai lembaga koordinator, BNPT telah menerapkan kebijakan dan strategi pentahelix (multi pihak) dengan merangkul dan melibatkan lima elemen bangsa, pemerintah melalui kementerian/lembaga, komunitas melalui organisasi kemasyarakatan termasuk pondok pesantren, akademisi melalui pelibatan dosen, mahasiswa dan pelajar, dunia usaha melalui pelibatan perusahaan baik BUMN maupun swasta, dan media melalui pelibatan insan media baik cetak, elektronik dan digital.
“Dengan pendekatan multi pihak tersebut, kebijakan dan program pencegahan yang dilakukan oleh BNPT dibangun atas prinsip simpatik, silaturahmi, komunikatif dan partisipatif dengan seluruh elemen bangsa,” katanya.
Hal itu diperkuat bahwa landasan kerja BNPT dilandasi dengan nilai dasar (core velue) yang menjadi pegangan, yaitu akronim dari BNPT (Berintegritas, Nasionalisme, Profesionalisme, Terpuji).
“Karena itulah, sangat tidak benar dan tidak beralasan adanya narasi tuduhan terhadap BNPT yang seolah mengeneralisir dan menstigma negatif terhadap pondok pesantren yang ada di Indonesia, apalagi menuduh data tersebut bagian dari bentuk Islamofobia,” kata dia.
Nurwakhid menjelaskan, dalam pelaksanaan program BNPT telah melibatkan para tokoh agama melalui forum gugus tugas pemuka agama BNPT. Dalam konteks pelibatan pesantren, BNPT telah melakukan silaturrahmi kebangsaan dengan mengunjungi pesantren di berbagai wilayah di Indonesia secara berkala.
“Agar tidak keluar dari subtansi dan tujuan data itu disampaikan, saya ingin menegaskan bahwa data tersebut harus dibaca sebagai upaya peningkatan deteksi dini dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang telah melakukan infiltrasi dan kamuflase di tengah masyarakat dalam beragam bentuk dan kanal,” katanya.
Berdasarkan data di Kementrian Agama (Kemenag), jumlah Ponpes di seluruh Indonesia ada sekitar 27.722. Artinya, 198 pesantren yang terindikasi terafiliasi jaringan terorisme tersebut hanya sekitar 0,007 persen yang harus mendapatkan perhatian agar tidak meresahkan masyarakat.
“Keberadaannya justru akan mencoreng citra pesantren sebagai lembaga khas nusantara yang setia membangun narasi islam rahmatan lil alamin dan wawasan kebangsaan,” ujar dia.
Ciri-ciri Pesantren yang Terafiliasi Jaringan Teror
Nurwakhid menjelaskan, masyarakat perlu diberikan informasi dan pemahaman terhadap keberadaan pesantren yang terindikasi memiliki afiliasi dengan jaringan terorisme. Di samping sebagai bentuk pembangunan deteksi dini dan kewaspadaan, juga sebagai landasan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan yang kredibel.
Ada beberapa indikator pesantren yang disebut terafiliasi dengan jaringan terorisme. Pertama, pesantren yang secara ideologis terafiliasi dengan ideologi jaringan terorisme, dan atau melakukan kegiatan ataupun aktivitas bersama di bidang politik maupun sosial keagamaan.
Kedua, pesantren yang secara ideologis maupun organisasi terafiliasi dengan jaringan terorisme sebagai strategi kamuflase atau siasat memyembunyikan diri dan agendanya (taqiyah) dan atau strategi tamkin, yaitu strategi penguasaan wilayah ataupun pengaruh dengan mengembangkan jaringan ataupun menginfiltrasi ke organisasi maupun institusi lain.
Ketiga, pesantren di mana oknum pengurus dan atau para santri dari lembaga tersebut terkoneksi atau terafiliasi dengan jaringan terorisme. Keempat, pesantren yang terkoneksi atau terafiliasi dalam pendanaan maupun distribusi logistik dengan jaringan terorisme.
Di samping kategori pesantren yang terafiliasi dengan jaringan terorisme, masyarakat juga harus mengetahui corak pengajaran dan pendidikan yang mengarah pada pemikiran radikalisme.
Pertama mengajarkan paham takfiri dengan mengkafirkan pihak lain yang berbeda pandangan maupun berbeda agama. Kedua bersikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleran terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas).
Ketiga, mengajarkan doktrin dan ajaran anti Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional. Keempat memiliki sikap politik anti pemimpin atau pemerintahan yang sah dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat (public distrust) terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, sebaran hoaks dan konten lainnya yang mengarah memecahbelah persatuan.
Kelima, pesantren yang pada umumnya memiiki pemahaman anti budaya ataupun anti kearifaan lokal masyarakat.