JAKARTA – Kapolri, Jenderal Pol Idham Azis, menegaskan, aksi terorisme masih jadi perhatian pada tahun 2020, meski ditahun sebelumnya jumlah aksi terorisme menurun 10 kasus dibanding tahun 2018.
“Sampai hari ini masalah teroris terus kita lakukan penyelidikan. Seluruh satgas Densus di 34 provinsi terus bekerja. Saya kira teman-teman juga tahu,” ujarnya di Jakarta, Rabu (29/1/2020).
Sepanjang tahun 2019 hanya terjadi 9 kasus teror atau turun 52,6 persen dari tahun sebelumnya. Jumlah personel Polri yang menjadi korban selama 2019 ada 11 yang terluka dan 1 gugur. Jika dibandingkan 2018 ada 15 terluka dan tujuh gugur.
Pelaku teror yang diungkap di 2019 ada 297 orang. Jumlah ini menurun 98 orang atau 24,8 persen dari tahun sebelumnya. Meski kasus dan pelaku teror yang ditangkap menurun di 2019, namun ada kasus teror yang menonjol yakni penusukan terhadap mantan Menkopolhukam, Wiranto.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, menegaskan pendanaan terorisme saat ini makin canggih, diman cukup transfer via smartphone.
“Transfer uangnya sudah melalui handphone kaya gini, ‘smartphone’. Jadi, sudah digital,” ujarnya di Jakarta, Jumat (10/1/2020).
Menurut Mahfud, dulu pendanaannya masih secara konvensional yakni, melalui bank sehingga memudahkan aparat penegak hukum untuk melacak aliran dana pada kegiatan terorisme. Akan tetapi dengan pola seperti saat ini, membuat aliran dananya susah terlacak, apalagi disebar ke berbagai orang sebagai penerima dana sebelum dikumpulkan kembali.
“Sekarang, ‘jret’ gitu sudah sampai ke yang bersangkutan, dan itu disamarkan dan dibagi. Misalnya, di Indonesia ada yang nerima 100 orang dibagi-bagi, dikumpulkan. Itu dioperasikan untuk beli senjata merakit senjata, dan sebagainya,” katanya.
Mahfud juga khawatir, semakin canggihnya terorisme karena lebih banyak melibatkan kaum perempuan dan anak-anak. Ia mencontohkan warga negara Indonesia yang terindikasi terlibat terorisme yang masih berada di Suriah, atau sering disebut FTF (Foreign Terrorist Fighter).
“Coba yang ada di Suriah itu ada 187 orang kita di sana yang diduga bergabung dengan teroris. Sebanyak 31 orang itu laki-laki, sisanya itu perempuan dan anak-anak,” kata Mahfud.
Saat ini setidaknya terdapat lebih dari 6.000 warga luar negeri yang diidentifikasi oleh negara yang didatangi sebagai teroris atau FTF, bahkan hal ini menjadi persoalan banyak negara.
Keberadaan FTF tentu persoalan di suatu negara sehingga harus dipulangkan ke negara asal. “Itu ‘kan harus dibicarakan bagaimana pemulangannya. Kalau dipulangkan berbahaya atau enggak, dan sebagainya,” ujar dia.
Pemerintah berupaya keras untuk memulangkan WNI di Suriah. Akan tetapi, harus dengan mempertimbangkan berbagai aspek. “Kalau yang jelas terlibat teroris itu akan diadili di Suriah. Nah, itu silakan. Akan tetapi, yang bukan ‘kan itu nanti dipulangkan di sini. Kalau dipulangkan ke sini, nanti gimana wong berangkatnya saja enggak pamit,” katanya.